Aku sering bingung sesungguhnya dengan sikap haji Mardun. Tak tahu kenapa terkadang perkataan dan sikapnya cepat sekali berubah. Baru saja ia berkata begini, tak lama kemudian ia berkata hal yang berbeda. Misal ia mengatakan akan pergi ke pasar kecamatan, tiba-tiba ia mengubah ucapannya dan memintaku untuk mengantarkannya pergi ke tempat lain yang tujuannya berlainan arah dari pasar kecamatan. Sering sekali ia bersikap seperti itu. Jika aku mengajukan sekadar protes kecil saja, pak haji yang terbilang orang paling kaya di kampungku itu punya saja dalih untuk menjawabnya. Yang menjadi permasalahan bagiku adalah sering sekali perubahan tujuan itu lebih jauh jaraknya dari tujuan semula yang tentu saja ongkosnya juga berbeda dan haji Mardun akan membayarku dengan tarif tujuan semula.
 

Banyak orang kampungku, khususnya beberapa teman tukang ojek yang mangkal denganku di persimpangan jalan tak jauh dari rumah Haji Mardun mengatakan jika ia adalah seorang yang sangat pelit. Mungkin benar kata mereka, tapi menurutku sebenarnya haji itu bukan orang yang pelit, hanya ia orang yang sering bersikap seenaknya sendiri dan orang lain harus mengikuti kehendaknya.

Hampir lima bulan ini Haji Mardun memang suka menggunakan jasa ojek. Ia sebenarnya punya beberapa buah mobil pribadi, tapi ia memang sangat jarang mengendarainya. Dulu ia punya supir pribadi, tapi entah kenapa sekarang ia tak lagi memiliki supir. Darto, supir terakhirnya telah mengundurkan diri dan pulang ke kampung halamannya. Saat kutanyakan hal itu pada Sunarti, asisten rumah tangga Haji Mardun, kenapa Haji Mardun tak mencari supir pribadi lagi, Narti mengatakan jika haji Mardun adalah orang yang sangat sulit percaya pada orang atau setidaknya pak haji itu butuh waktu yang cukup lama untuk bisa percaya pada orang lain.

“Pak Haji Mardun telah merasa sangat cocok dan percaya pada Darto. Supir itu telah sangat lama bekerja pada Haji Mardun, telah belasan tahun lelaki itu dengan setia dan patuh selalu siap mengantar ke mana Haji Mardun pergi tanpa banyak bertanya, bicara, atau protes pada sang majikan. Ia juga selalu menjadi pendengar yang baik ketika Haji Mardun banyak bercerita padanya. Jadi ketika Darto keluar kerja, pak haji bilang jika ia malas mencari orang lagi,” terang Narti saat aku bertanya padanya. Sebenarnya haji Mardun tentu saja bisa mengendarai mobil, tapi ia memang jarang menggunakannya. Sering ia kulihat memanaskan mobil-mobilnya saat aku melintas depan rumahnya, sesekali saja ia kulihat keluar mengendarai mobil.

***

Lima bulan terakhir ini saat Haji Mardun senang naik ojek di pangkalan kami, hampir tak ada tukang ojek yang mau mengantarnya. Awalnya sebenarnya tak ada masalah, tapi setelah beberapa kali mengantar Haji Mardun, satu persatu tukang ojek yang berjumlah enam orang termasuk denganku tak mau lagi mengantar Haji Mardun. Itu mungkin karena mereka menganggap Haji Mardun orang yang pelit dan terbilang rewel atau bahkan suka sekali berubah pikiran, sementara banyak teman tukang ojek harus mengejar setoran hingga mereka malas mengantar orang seperti haji Mardun.

“Bardo, kau saja ya yang mengantar Haji Mardun,” ujar Kirjo kepadaku yang kemudian disahuti tukang ojek lain saat mereka melihat Haji Mardun keluar dari rumahnya dan menuju pangkalan.

Aku tentu saja kadang merasa keberatan, tapi sayang juga jika rezeki kulewatkan. Awalnya aku juga sering merasa jengkel dengan Haji Mardun karena selain ia sering menawar harga ojek, kadang juga ia mengajakku ngobrol sepanjang perjalanan. Ia akan memintaku mengendarai sepeda motor perlahan untuk sekadar melayaninya berbincang. Seperti yang kuceritakan, ia juga sering mengubah rute semula dengan tujuan yang berbeda dan lebih jauh tapi ia membayar dengan ongkos yang sama.

Awalnya aku juga ingin menolak untuk mengantar Haji Mardun seperti lima tukang ojek temanku setelah kuketahui sikap haji Mardun tersebut. Entah kenapa aku merasa tak enak hati jika harus menolaknya juga. Kini jadilah aku seperti tukang ojek langganannya karena memang hanya aku yang siap mengantar haji Mardun, dan dengan rasa yang sangat terpaksa aku akan bersikap manis di depan haji tersebut. Aku melayani obrolannya, aku juga tak pernah protes dan meminta uang lebih jika ia mengubah rute. Pikirku tak apalah, anggap aku mengobati kesepian haji tua yang kudengar memiliki tiga anak yang sangat sukses dan tinggal di luar negeri.

Setelah sekian lama aku menjadi tukang ojek pribadi haji Mardun, aku mulai paham dengan kebiasaan dan tabiatnya. Haji Mardun akan menawar berapa pun harga yang aku ajukan kepadanya. Jika aku bersikeras dengan harga semula yang sebenarnya memang telah harga pasaran, ia pasti akan memasang muka masam meski akhirnya akan tetap naik sepeda motorku juga.

“Pak Haji, itu memang sudah harga pasaran. Saya takut jika teman-teman tukang ojek yang lain marah jika saya menurunkan tarif,” kataku padanya saat aku akan mengantarnya.

“Kalau dulu tak apa Bardo, aku bisa mengerti. Tapi sekarang aku telah menjadi langganan tetapmu, masa’ tak ada harga diskon untuk langganan,” kilah Haji Mardun. Aku pikir ada benarnya juga ucapan Haji Mardun. Beberapa bulan ini ia memang telah menjadi langganan tetapku yang setiap hari aku antar kemana pun ia pergi. Aku juga banyak tahu dari cerita Haji Mardun sendiri tentang keluarga dan bisnisnya. Di pasar kecamatan Haji Mardun memiliki sebuah toko besar. Di beberapa tempat yang sering kukunjungi saat mengantar Haji Mardun, biasanya saat ia mengubah rute, ternyata haji Mardun mengontrol kebunnya yang berada di beberapa tempat. Haji Mardun memiliki kebun buah, sayur-sayuran dan kebun kelapa sawit. Semua usahanya telah ada yang mengurus, Haji Mardun hanya mengontrol. Haji Mardun juga sering bercerita tentang tiga anaknya yang sukses di luar negeri tapi jarang sekali pulang ke tanah air untuk mengunjunginya. Haji Mardun hanya tinggal dengan istri dan Sunarti asisten rumah tangganya.

“Baiklah pak haji, saya beri diskon harga dua puluh lima persen ya. Ini harga khusus untuk langganan seperti pak haji,” kataku padanya. Kulihat haji itu tersenyum dan roman wajahnya terlihat sumringah.

***

Menjelang lebaran adalah lebaran yang sungguh sangat mengejutkan bagiku. Haji Mardun memanggilku ke rumahnya. Awalnya aku mengira Haji Mardun akan memintaku untuk mengantarnya ke suatu tempat. Masih kuingat beberapa malam yang lalu ia mengajakku berbincang lama. Aku memang tak mudik lebaran ini karena memang tak cukup punya uang, dan kampungku pun jauh dari sini. Aku adalah seorang perantauan di daerah ini. Meski hanya menjadi tukang ojek, aku masih bersyukur bisa menghidupi keluargaku. Di daerah asalku sana, profesi tukang ojek konvensional telah tergerus oleh tukang ojek yang menggunakan aplikasi atau yang disebut ojek online.

Haji Mardun memberiku bingkisan kue lebaran dan memberiku sebuah amplop yang sangat tebal. Ia bercerita jika itu adalah semacam THR buatku. Ia telah membuat kalkulasi terperinci dari diskon harga ojek yang aku berikan padanya juga kalkulasi nominal saat ia mengubah rute tujuan. Katanya itu adalah semacam tabungan atau tunjangan bagiku. Ia bahkan kemudian menambah nominalnya. Aku tentu saja sangat terkejut dan senang karena itu adalah THR pertama yang pernah aku terima sepanjang hidupku sebagai seorang tukang ojek walau aku tentu saja tak pernah ingin selamanya jadi tukang ojek. Saat kuhitung jumlah uangnya, sungguh bagiku itu sangat besar.

Haji Mardun juga bercerita jika aku masih mau memberinya harga diskon, ia siap menjadi langganan tetapku. Ia juga akan tetap membuat kalkulasi dari semua perjalananku mengantarnya. Jumlah itu akan ia berikan ketika akhir tahun atau lebaran tahun depan. Ia berkata dengan sangat yakin jika tukang ojek sepertiku akan sangat mengalami kesulitan untuk bisa menyisihkan sebagian penghasilan untuk kemudian ditabung. Aku jadi teringat ucapan Sunarti, mungkin Haji Mardun telah merasa sangat cocok dan percaya padaku. Soal sikap Haji Mardun yang terkadang seenaknya, aku rasa memang begitulah tabiat seorang bos. Mungkin Haji Mardun menganggap dan memperlakukan diriku seolah-olah aku adalah seorang karyawannya.



Cerpen Mahan Jamil Hudani (Padang Ekspres, 22 Juli 2018)