Tuah Segelas Air



Aku sering sekali merasa heran sekaligus jengkel pada temanku, Mahfud. Bagiku, apa yang ia perbuat adalah sesuatu yang kurang bisa diterima akal sehat bahkan cenderung menyesatkan. Bagaimana tidak, jika ia merasa sedikit sakit saja semisal kurang enak badan atau demam ringan, ia sering memanggilku untuk menemaninya menemui Kyai Farid, meminta segelas air dari beliau. Kata Mahfud, air minum dari Kyai Farid sangatlah manjur untuk menyembuhkan banyak penyakit. Air itu mengandung tuah luar biasa karena telah mendapat doa dari Kyai Farid. Bukan itu saja, saat Mahfud akan mengikuti ujian atau tes kenaikan kelas, ia akan datang menemui Kyai Farid. Begitu juga jika ia ingin bepergian ke luar kota. Hampir semua tindakan yang Mahfud ambil—apa pun itu—Mahfud akan meminta segelas air terlebih dahulu pada Kyai Farid.
Aku tentu saja mengenal dengan sangat baik Kyai Farid. Aku dan Mahfud telah cukup lama menjadi santri kiai kharismatik itu. Sebagai seorang santri yang pernah belajar kitab langsung pada Kyai Farid—karena memang tak semua santri memiliki kesempatan mengaji kitab secara langsung pada kyai– tentu aku sangat menghormati beliau. Aku tentu juga percaya jika segelas air yang telah diberi doa Kyai Farid juga mengandung berkah. Hanya aku tidak setuju dengan sikap Mahfud yang menurutku terlalu berlebihan dan sangat mengultuskan beliau.

***

Malam itu, Mahfud mengalami demam cukup tinggi hingga ia susah bangkit untuk keluar rumah. Ia hanya bisa berbaring di tempat tidur. Ia lalu memintaku datang ke rumahnya yang berjarak hanya 100 meter dari rumahku. Tiba di rumah Mahfud, aku melihat ia sedang berselimut tebal dengan tubuh menggigil. Saat aku memegang keningnya yang begitu banyak mengeluarkan keringat, memang terasa begitu panas. Bahkan suaranya terdengar lemah dan bergetar. Aku sarankan pada orang tua Mahfud agar temanku itu disuruh minum obat atau pergi ke dokter, tapi menurut tuturan orang tuanya, Mahfud menolak tawaran itu.

Mahfud dengan diamini kedua orang tuanya lalu memintaku dengan sangat agar aku datang ke pesantren Kyai Farid untuk minta segelas air doa dari beliau. Sungguh aku tak punya cukup alasan untuk menolak permintaannya. Pesantren Kyai Farid tidaklah terlalu jauh dari rumah kami, sekitar 20 km. Jika berkendara dengan sepeda motor, kita bisa menempuhnya dalam 30 menit. Kota kecil kami belum mengenal macet dan kondisi jalan juga sangat bagus. Rumah Kyai Farid berada di kompleks bangunan pesantren tersebut.

Malam belum larut. Saat aku melihat jam di pergelangan tanganku, waktu baru menunjukkan hampir pukul 20.00. Aku mengeluarkan sepeda motorku untuk segera meluncur ke pesantren. Baru saja aku menyalakan mesin sepeda motor, terasa basah di jok motor. Rupanya gerimis mulai turun. Baru 500 meter aku berkendara, gerimis berubah menjadi hujan deras. Aku memutuskan membelokkan sepeda motorku dan singgah di rumah Sofyan, temanku saat masih sekolah di bangku SD.

***

Menjelang sore hari saat aku baru selesai membaca buku, Mahfud datang ke rumahku. Ia mengucapkan terima kasih padaku karena telah membantunya. Ia bercerita kalau ia merasakan tubuhnya telah kembali segar, kulihat memang ia tampak begitu bugar dan bersemangat. Sungguh sangat berbeda kondisinya dengan semalam.

“Berkat air minum dari Kyai Farid yang kau bawakan untukku tadi malam, badanku kini telah kembali segar. Segala rasa sakit seperti hilang. Benarbenar mujarab air Kyai Farid ya Nur,” Mahfud berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala sebagai rasa takjub akan kemujaraban air minum yang aku berikan padanya tadi malam.

Aku kembali memberikan pengertian padanya bahwa sesungguhnya keyakinan yang berlebihan pada air minum yang ia teguk tadi malam adalah sikap yang menjurus ke syirik. Ia terlihat marah dan mulai mengajak berdebat. Untunglah terdengar kumandang azan asar yang menghentikan pertikaian kami. Aku segera mengajak Mahfud pergi ke masjid untuk salat berjemaah.

***

Aku membaca pesan pendek di ponselku.

“Harap datang ke pesantren Al Hikam sore ini bakda asar.” Pesan yang dikirim Kyai Farid itu membuatku sangat terkejut. Ada apakah Kyai Farid memintaku datang ke pesantren. Jangan-jangan aku akan dimintai pertanggungjawaban akan tindakanku beberapa hari yang lalu. Apakah Kyai Farid mengetahui perbuatanku tempo hari dan beliau marah padaku. Pikiranku diselimuti bermacam pertanyaan.

Aku segera memacu sepeda motorku menuju pesantren. Ada perasaan tak enak menyesak di dadaku. Jantungku berdegup kencang ketika aku memasuki halaman pesantren. Suasana pesantren sedang sepi. Sungguh debaran dadaku terasa makin keras dan seolah jantungku ingin copot saat aku masuk ruang tamu dan kulihat sahabatku Mahfud juga berada di situ. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa tatapan Mahfud seperti ingin menelanjangiku. Aku tak berani menatap ke arah Kyai Farid, hanya sempat aku melihat beliau duduk dengan begitu tenangnya. Aku menundukkan kepala menghampiri beliau untuk bersalaman dan mencium telapak tangan beliau sebagai tanda takzimku.

Setelah hening sejenak, Kyai Farid lalu berkata dengan lembut namun penuh wibawa. “Begini ananda Nur. Nanda Mahfud datang kemari untuk mengucapkan terima kasih karena telah sembuh dari sakit setelah minum air yang kuberikan padanya melalui ananda Nur. Sejujurnya aku benarbenar tak mengerti. Itulah mengapa aku memintamu datang kemari. Coba ceritakan apa sebenarnya yang terjadi.”

“Sayaa…saaa….saaa..yaa…sebelumnya mohon maaf Pak Kyai….,” aku sungguh gugup untuk memulai pembicaraan apalagi bercerita lebih lanjut. Kulihat Mahfud juga seperti bingung mendengar ucapan Kyai Farid. Tatapan mata kami saling beradu sesaat. Aku juga merasa bersalah pada sahabatku itu, tapi dari tuturan Kyai Farid dan roman muka Mahfud yang menyiratkan kebingungan, aku menduga Mahfud belum mengetahui juga pokok persoalannya.

“Tak apa, ceritakan saja pada kami berdua. Tak perlu ananda Nur ragu atau takut,” lembut Kyai Farid berkata. Ucapan beliau itu mampu membuatku sedikit lebih tenang.

Beberapa malam lalu sesungguhnya perjalananku tak sampai ke pesantren Kyai Farid. Aku singgah dan berbincang lama dengan Sofyan hingga lebih dari dua jam. Saat malam menunjukkan hampir pukul sebelas malam aku pamit. Sebelum aku pulang, aku sempat minta segelas air putih pada Sofyan yang kemudian dipindahkan ke botol air mineral kosong. Mendengar ceritaku itu, Mahfud terlihat sangat terkejut. Aku lihat ia bangkit dari duduknya sambil telunjuk tangan kanannya diarahkan kepadaku. Kulihat bibirnya bergerak seakan ingin mengucapkan sesuatu. Sepasang matanya terlihat melotot dengan roman muka yang menunjukkan rasa amarah. Aku melihat Kyai Farid dengan tenang mengangkat tangan kirinya dan meminta Mahfud untuk kembali duduk. Beliau kemudian mempersilakan aku untuk meneruskan bicara.

“Sungguh Kyai, saya tak berniat melakukan hal itu, tapi saya juga memiliki alasan jika berbuat seperti itu.” Aku lalu menceritakan pada Kyai Farid tentang prinsip dan keyakinan Mahfud yang menurutku memang kurang pas selama ini.

“Apa yang ananda Nur perbuat bisa dimaafkan dan dimengerti walau itu tetap suatu kesalahan karena telah berbohong. Maaf sebelumnya ananda Mahfud, jujur saya sering merasa heran kenapa ananda Mahfud terlalu sering datang menghadapku untuk hal seperti itu. Bukan hal itu tak boleh, tapi manusia harus ikhtiar dan berusaha untuk mencapai sesuatu. Misalnya jika kau sakit, ya kau harus pergi ke dokter atau minum obat. Jika kau ingin lulus ujian, ya kau harus belajar. Aku tidak pernah merasa keberatan jika ada orang datang kemari untuk meminta segelas air doa karena doa adalah wajib. Tapi yang harus diingat adalah bahwa segala sesuatu itu ditentukan oleh Allah, bukan oleh segelas atau sebotol air. Jadi ikhtiar dan usaha hukumnya menjadi wajib seperti halnya berdoa.”

“Lalu….bagaimana dengan kesembuhan saya setelah minum air itu Kyai, saya merasa sembuh dan segar, padahal itu adalah air dari Sofyan,” ucap Mahfud dengan kepala tertunduk.

“Tentu kesembuhan itu semata karena Allah meski air itu bukan dariku. Semua berasal dari keyakinan kita sendiri. Kita sesama manusia hanya wajib saling mendoakan, tapi selalu kukatakan agar kita selalu berusaha dan berikhtiar juga.” Lalu Kyai Farid memberi wejangan kepada kami berdua panjang lebar sore itu. Sungguh aku makin mengagumi pandangan dan sikap kiai itu, aku harap Mahfud juga begitu dan setelah ini ia bisa mengubah sikap dan pandangannya. ***

 
Cerpen Mahan Jamil Hudani (Solo Pos, 03 Februari 2019)

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Di sini tiap ada pengajian banyak sekali penjual minuman botolan, entah sejak kapan, seingatku dulu tidak demikian. Sekarang orang-orang di acara pengajian/tabligh hampir seluruhnya memegang botol minuman yang pada akhir acara ketika ada doa botol itu dibuka tutupnya lalu ketika doa selesai mereka serentak minum seteguk dua teguk. Aku yang baru belakangan ikut hadir di pengajian jadi ketularan, cuma biar beda sama orang lain, airnya aku minum saja sepanjang pengajian dan ketika orang-orang membuka tutup botol untuk didoakan di akhir acara aku justru membuang botol kosong.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mas. Aku juga sebenarnya heran dengan kebiasaan atau keyakinan yang berlebihan semacam itu. Itulah dulu kenapa aku menulis cerpen itu.

      Hapus