Di pelabuhan Sri Bintan
Pura kau melepasku pergi
Sepasang matamu sembab
dan kosong
Menahan terpaan angin
yang mengabarkan kesedihan
tentang kampung-kampung
yang mulai sunyi
para pemuda pergi dan
enggan kembali
Kebun dan ladang adalah
impian yang begitu lamban
Di pelabuhan Sri Bintan
Pura kau bercerita
dengan air mata yang
mulai jatuh di bahu
Katamu tubuhku tak lagi
menyimpan aroma amis
yang selalu kau rindu
seperti dulu
saat kau sering
menungguku pulang melaut
membawakanmu hasil
tangkapan
Parfum dan deodoran
serta aroma kota begitu menggoda
Aku lupa ramuan dan
wewangian dedaunan nenek moyang
Kau juga berkisah Batu
Ampar, Punggur, dan Sekupang
Kita sering menunggu
perahu menepi
Dan aku mengusap lembut
sepasang pipi
Malu-malu bibirmu
berucap menatap laut
Degup jantung kita
adalah ombak Melaka hingga Natuna
Kapal-kapal kini datang
serupa serdadu
Mengangkut orang-orang
pergi dengan mimpi
Tepian dan pantai
lengang dari para nelayan
yang berkisah malam,
gelombang, dan pulau-pulau seberang
Badai adalah mata orang
tua kita yang sayu
karena tak lagi memliki
perahu
Di pelabuhan Sri Bintan
Pura kau membisik lirih
sebelum tubuhku
benar-benar ditelan lautan
Masihkah Melayu mampu
membawaku pulang
Katamu rantau bukan
tanah pelarian
(Tangsel, 27 Agustus
2019)
Puisi ini termuat dalam
antologi, Segara Sakti Rantau Bertuah
(FSIGB, 2019)
0 Komentar