Bang Tedi

 
 

Lelaki hampir setengah baya itu dipanggil dengan nama bang Tedi. Dia tinggal selang hanya tiga rumah dari rumahku. Nama sebenarnya adalah Sutiman. Itu pernah aku tanyakan langsung padanya suatu ketika. Tapi hampir banyak orang yang telah lama tinggal di sini bahkan tak pernah lagi mengingat nama itu. Bagi mereka orang baru dan pendatang yang tinggal belum lama di kawasan perumahan bedeng ini bahkan tidak tahu nama bang Tedi sebenarnya. Bang Tedi pun bangga dengan sebutan nama itu. Terasa nama Tedi lebih keren disandangnya daripada nama sebenarnya yang ia miliki.

Adalah Ladi, bujangan tua yang bekerja serabutan di pasar kompleks perumahan yang pertama kali memanggil nama bBang Sutiman dengan nama Bang Tedi. Ladi dahulunya adalah seorang preman pasar yang kerjanya suka memalak dan meminta setoran uang keamanan pada para pedagang pasar. Sejak ia memiliki seorang pacar bernama Iyah, ia tak lagi memalak. Ladi terkadang menjadi tukang ojek, terkadang pula menjadi kuli pasar yang membantu mengangkut dagangan para pedagang. Meski terkadang ia masih suka nongkrong di pasar sambil minum-minum jika malam hari, tapi ia tak lagi dicap sebagai tukang onar. Mungkin faktor usia dan keinginannya untuk menikahi Iyah membuatnya menjadi lebih terarah dalam hidup agar bisa diterima di lingkungan keluarga Iyah. Jika sebagian orang yang masih mengingat nama Bang Sutiman bertanya pada Ladi kenapa ia memanggilnya dengan nama Bang Tedi, Ladi akan menjawab, “Ya biar terdengar keren dan gaul aja dipanggil bang Tedi.” Dan Bang Tedi pun makin bangga tanpa pernah mempermasalahkannya.

Bang Tedi adalah seorang duda beranak dua yang telah beranjak remaja. Istrinya telah meninggal beberapa tahun lalu ketika anak keduanya masih berusia tiga tahun. Sehari-hari ia berjualan kelapa parut di pasar. Warga perumahan bedeng bisa membeli kelapa langsung parut pada bang Tedi. Bang Tedi juga tak keberatan jika warga yang datang ke kiosnya membawa kelapa sendiri dan hanya membayar jasa parut di mesin pemarut kelapa Bang Tedi. Usahanya terbilang lancar karena kompleks perumahan padat penduduk ini menggunakan jasa kelapa parut miliknya.

Sebenarnya perawakan Bang Tedi cukup gagah, menunjukkan bahwa ia adalah sosok pekerja keras. Wajahnya juga tak jelek-jelek amat, masih cukup laku untuk mencari jodoh, apalagi didukung dengan kemampuan ekonominya yang cukup lumayan untuk ukuran warga bedeng ini yang umumnya bekerja sebagai buruh pabrik, kuli pasar, supir angkot dan truk atau yang sedikit lebih baik sepertiku, karyawan sebuah mall dengan jabatan manager toko yang sudah terkenal. Jika aku masih tinggal di kawasan bedeng yang agak kumuh di ibukota ini, itu karena aku harus berhemat. Aku masih punya tanggungan membiayai dua adikku yang masih kuliah di kota asalku sana. Aku sendiri sebenarnya tak mempermasalahkan tinggal di sini. Warga di sini terbilang cukup ramah dan hidup dalam suasana yang relatif harmonis, jauh dari kesan individual seperti banyak tempat lain.

Bang Tedi sendiri pernah bercerita padaku jika ia agak merasa minder dengan usia dan kondisi fisiknya yang sedikit mempunyai kekurangan. Ya, kaki kiri bang Tedi sedikit pincang. Sebenarnya tidak terlalu kelihatan, hanya akan tampak terlihat jika ia sedang berjalan. Aku selalu membesarkan hatinya jika ia sedang curhat padaku tentang itu.

                                                          ***

Suatu malam, aku menonton TV. Aku ingin begadang malam ini karena dini hari nanti akan ada pertandingan liga Champion Eropa. Klub favoritku FC Barcelona akan bertanding. Besok aku libur kerja karena sebagai manager toko, libur kerjaku bukan pada hari akhir pekan. Aku mendengar suara cukup ramai di rumah sebelah, rumah pak Muhtar yang hanya terpisah gang kecil dengan rumah kontrakanku. Rupanya Ladi, Kiki, Birin, Agus, Jibon dan beberapa anak muda lainnya sedang kumpul-kumpul di teras rumah pak Muhtar yang cukup lega. Aku bisa menebak jika mereka juga sedang menunggu pertandingan liga Champion. Aku lalu bergabung dengan mereka, lumayanlah agar tak tertidur, jika perlu kami bisa nonton bareng di rumahku nanti, aku tak keberatan.

“Oi, pak manager, ayo Pak silakan duduk, Pak.” Sambut Ladi ketika aku keluar dari rumah dan menyapa mereka. Anak-anak muda sini memang memanggilku dengan “Pak” meski aku sebenarnya juga masih bujangan, bahkan usiaku masih di bawah usia Ladi, baru mau kepala tiga.

“Iya Pak, asyik kita ngopi-ngopi dulu sambil nungguin bola.” Jibon ikut menimpali. Sambil ngopi dan merokok diselingi dengan makanan kecil dan beberapa bungkus kacang, kami mengobrol tanpa juntrungan. Makin lama obrolan kita makin banyak topik. Hingga akhirnya Ladi nyeletuk,

“Eh, kalian semua tahu kagak kenapa gua memanggil Bang Sutiman dengan nama Bang Tedi.”

“Ya kagak tahu, emang kenapa Di?” Kiki dan Birin bersamaan menyahut.

“Tapi Elu pada janji ya untuk tidak bilang ke yang lain, pak manager juga ya, soalnya pak manager kan dekat dengan Bang Tedi.” Kata Ladi. Aku hanya tersenyum kecil sambil mengangguk-angguk. Yang lain pun meyakinkan Ladi bahwa mereka takkan bercerita ke Bang Tedi. Agus dan Jibon juga turut penasaran ingin tahu  karena selama ini Ladi tak pernah bicara serius seperti malam itu. Aku yang bukan asli warga sini sebenarnya menganggap itu bukan suatu hal yang penting. Setelah Ladi yakin jika Kiki dan lainnya bisa memegang janji, Ladi berkata,

“Kalian semua kan tahu tuh kalau Bang Timan itu jalannya agak pincang alias teklok. Nah Tedi itu sebenarnya kepanjangan dari Teklok Dikit.” Belum selesai Ladi bicara, yang lain sudah pada tertawa terbahak-bahak, aku tentu saja tidak tertawa. Bagiku ini lelucon yang berlebihan.

                                                  ***

 

Aku biasa berangkat kerja pukul 09.00. Mall di mana aku bekerja hanya berjarak tak sampai 1 km. Pagi itu aku ingin sarapan nasi uduk di pasar seperti biasa yang kulakukan pada pagi-pagi sebelumnya. Kulihat ada keributan di pasar. Bang Timan sedang menantang Ladi berkelahi. Ya setelah aku tahu dari Ladi beberapa malam lalu, aku memanggil Bang Tedi dengan nama aslinya. Hatiku merasa tak enak sendiri memanggilnya Bang Tedi setelah tahu arti sebenarnya nama itu.

“Elu pikir, mentang-mentang elu mantan preman, gua takut ama elu Lad. Kalau elu jagoan, ayo kita berantem satu lawan satu, tangan kosong. Gua jabanin elu.” Teriak Bang Timan. Kulihat Ladi diam saja. Aku rasa ia enggan untuk berkelahi, apalagi kulihat Iyah di sana. Aku mendekat langsung menenangkan Bang Timan. Bang Timan masih berteriak-teriak penuh emosi. Orang-orang lain di pasar mulai ramai mendekat ingin tahu kejadian yang tak biasa itu. Mereka mengenal Bang Tedi dengan cukup baik. Bang Tedi sosok yang tak banyak tingkah. Maka terasa aneh jika Bang Tedi melabrak Ladi yang mantan preman pasar itu.

“Udah Bang. Abang tenang. Tahan emosi Abang, tak ada gunanya berkelahi.”

“Dia udah kurang ajar dan berani menghina saya pak manager. Emang sangkanya saya tidak berani apa berantem sama dia.” Aku tetap berusaha menenangkan Bang Timan. Untung Iyah juga berusaha kuat menenangkan Ladi yang juga sudah mulai bangkit emosinya. Syukurlah tak lama kemudian pak Sadono ketua RW datang. Lalu pagi itu aku ikut menyertai mereka untuk proses mediasi.

Setelah diusut panjang lebar akar permasalahannya di pos RW, rupanya Bang Tedi sangat tersinggung setelah dia mengetahui arti kepanjangan nama Tedi yang menghinanya. Puluhan tahun Tedi bangga dengan nama itu karena memang terasa lebih keren, tapi sungguh ia tak pernah tahu jika itu sebuah penghinaan. Pak Muhtar yang bercerita langsung pada Bang Timan setelah ia mendengar sendiri keterangan itu dari mulut Ladi beberapa malam lalu di teras rumahnya. Ladi dengan berbesar hati meminta maaf pada Bang Timan dan tidak akan memanggil dengan nama itu lagi.

                                                            ***

Beberapa hari ini aku tak melihat Bang Timan berjualan. Soleh dan Nur anaknya yang berjualan kelapa parut di pasar menggantikan Bang Timan.

“Emang kemana Bang Timan Leh, beberapa hari ini kok tidak berjualan?” Tanyaku.

“Ada di rumah, pak manager. Bapak katanya pingin libur dulu.” Nur menyahut. Aku juga tak melihat Ladi sejak kejadian di pasar dan pos RW itu. Aku mendatangi rumah Bang Timan. Ia menyambutku ramah. Bang Timan bercerita jika ia malu. Rasa malu bukan karena ia disebut Bang Tedi. Baginya itu sebuah kenyataan jika ia sedikit teklok atau pincang. Ia menerima itu dengan ikhlas sebagai makhluk. Ia justru merasa malu atas kejadian di pasar saat ia tak bisa menahan emosinya itu.

Setelah itu aku menuju rumah ibu Ladi. Kata ibunya, Ladi sedang ke rumah kakaknya di Sukabumi. Aku lalu ke rumah Iyah yang sehari-harinya menjaga warung orangtuanya. Kata Iyah, Ladi memang lagi di Sukabumi. Ia merasa bersalah pada Bang Timan. Ia ingin menenangkan diri beberapa hari di rumah kakaknya.

“Kata Bang Ladi, rumah kakaknya di sebelah pesantren. Jadi Ladi bisa meminta nasihat dari Ajengan di sana.” Jelas Iyah. Aku lalu meminta nomor ponsel Ladi pada Iyah.

Tiga minggu kemudian orang-orang di pasar melihat Ladi dan Bang Timan di kios kelapa parut “Bang Tidi” yang merupakan kepanjangan “Timan dan Ladi”, tertera papan nama baru di kios itu. Ladi kini menjadi rekanan bisnis bang Timan dan menjadi pemasok utama kelapa di kios Bang Tidi. Cerita terakhir yang kudengar, selama beberapa minggu di Sukabumi, Ladi juga mencari pasokan kelapa untuk dikirim ke Jakarta.     

 

Cerpen ini dimuat dalam buku kumpulan cerpen Raliatri (2016)               

Posting Komentar

0 Komentar