Paradoks dan Implikasi Puitik
Jika
kita membaca puisi-puisi Budhi Setyawan dalam buku ini yang berjumlah 72 puisi,
kita seperti disuguhi dengan sebuah paradoks1. Hal pertama adalah
pemilihan judul puisi Sajak Sajak Sunyi (S3) yang kemudian tentu saja
menghadirkan puisi-puisi dengan nada seragam. Kita tentu bisa memperdebatkan
sekarang bahwa kesunyian bukan semata milik sajak dan penyairnya. Puisi tak
lagi berada di jalan sunyi, ini juga sebuah kredo yang paradoks sama seperti
paradoksnya seorang penyair pasti berada di ruang sunyi. Bagaimanapun faktanya
adalah banyak penyair berada di ruang penuh gemuruh. Inspirasi juga bisa lahir
di manapun bahkan saat kita sedang makan di resto atau cafe lalu menulis peristiwa itu sebagai puisi. Mungkin paradoks ini
bagi pembaca sesungguhnya memang bukan suatu hal yang signifikan dan menarik
untuk dibahas tetapi bagaimana kita memasuki dan memahami kesunyian dan kompleksitasnya
pada puisi-puisi dalam S3 ini maka
melakukan ekplorasi paradoks dalam perspektif sastra2 akan menjadi
sangat diperlukan karena ini adalah semacam titik sentralnya.
Memang
bisa jadi sunyi dalam buku puisi ini adalah sebuah dialektika. Sunyi adalah
ruang atau waktu di mana kontemplasi dan imaji bermain dengan bebasnya padahal bisa
jadi puisi itu seperti sebuah kesadaran
diri yang terkadang muncul begitu mendadak dan tajam serta menyentak relung terdalam
batin kita. Puisi adalah nurani yang terkadang mungusik atas suatu desakan dari
sebuah realita tanpa dibatasi dimensi ruang. Ya, puisi bisa saja merupakan
benturan antara kognisi dan realitas yang kemudian mengendap. Endapan itu
kemudian bisa saja segera meluap atau justru tersimpan lama dan hidup dalam
memori yang tetap mengusik hingga suatu ketika harus diledakkan. Ini adalah
suatu dialektika yang sesungguhnya makin membuat sebuah puisi mampu berbicara
secara jujur tanpa terkesan artifisial dan jauh dari sekadar permainan ilusif.
Tapi tentu saja apa dan bagaimana sebuah puisi lahir adalah perkara atau
otonomi sang penyair.
Bisa
jadi puisi ini mencapai kulminasinya sebagai suatu kesunyian yang benar-benar
telah mengendap yang kemudian dieksplorasi. Buku ini sendiri dibagi dalam dua
bagian, 42 puisi bagian pertama berbicara ruang
sunyi, sementara bagian kedua berisi 30 puisi berbicara waktu sunyi. Nada dan suasana yang
terlukis dalam puisi-puisi ini sungguh diselimuti dan memang menekankan kesunyian.
Ini
suatu hal yang menarik. Keseragaman dalam mengangkat subyek dalam 72 puisi
bukanlah perkara yang mudah terlebih puisi-puisi ini lahir dalam fase yang
cukup singkat, hanya dua tahun. 70 puisi ditulis dalam rentang tahun 2014-2016,
hanya 2 puisi yang ditulis di tahun 2017. Suatu usaha yang tentu membutuhkan
konsentrasi besar.
Kita
tak akan mendapatkan puisi-puisi yang berbicara tentang kritik sosial atau
hiruk pikuk dunia dan semacamnya, tapi kita akan dibawa pada suatu pendalaman
dan pengahayatan batiniah atau spiritual dalam lingkup yang lebih sempit. Jika
puisi-puisi spiritual bisa berbicara hal-hal yang bersifat horisontal dan
ritual, puisi-puisi dalam S3 ini
lebih menitikberatkan perenungan dan dialog batin pada sang pencipta seolah
kita sedang berdoa dan berdzikir. Ada satu titik yang dituju, pemahaman akan
sang pencipta dengan cara yang sangat kontemplatif dengan mengerahkan dan
bertumpu pada totalitas ruang dan waktu yang sunyi. Di situ hanya ada kita dan
Tuhan. Dengan kenyataan tersebut, puisi ini hendak betul mengingatkan kita
bahwa kita harus benar-benar menyisihkan waktu dan mencari ruang untuk
melakukan meditasi dan menghindari segala hal hiruk pikuk dunia. Kita adalah
mahluk yang belum mampu mengingat sang pencipta di mana saja dan kapan saja.
Ruang dan waktu masih memanjakan kita dengan segala kenikmatan duniawi yang
membuat kita lupa pada sang pencipta.
di sepanjang pantai usia
tuhan
terlupa dalam suka
tersebut dalam duka
(Iman, hal 62)
Pada
saat itulah, saat kita berada dalam duka, kita akan mengingat tuhan dengan
menyebut namanya. Pada kondisi normal atau bahkan suka, kita lupa akan tuhan bahkan
di sepanjang usia. Puisi ini semakin mengingatkan kita bahwa ternyata sunyi
adalah ruang dan waktu yang bisa membangkitkan kesadaran akan siapa diri kita.
Kita yang harus memberi kesempatan batin kita dengan sengaja untuk bermunajat
dalam sunyi. Proses dan praktik ini bukan dicapai dengan semata melakukan
ritual yang telah atau biasa kita lakukan sehari-hari, tapi kesadaran diri yang
benar-benar dipaksa dan dibawa ke dalam sunyi.
maka
kubenamkan sujudku, kutenggelamkan diri pada
lubuk
diam paling sunyi. inikah akhir dari pengembaraan
angan
menurutkan jalan ingin. sementara angin makin
mendekati
sarangnya, sebagai pintu membebaskan doa
dari
tindihan harap dan bayang kenikmatan. juga
melepaskan
rasa dari dekap rencana rencana. karena
sebagai
penempuh takdir sampai batas akhir, tak
semestinya
berderap meminta, tetapi cuma bisa tekun
menerima.
pada segala yang tiba, kerlip tunaskan daya.
lalu
keheningan tajam memintas kalbu, terbit gigil
terbayang
tebasan waktu.
(Seperti
Sujud Terakhir, hal 71)
Di
sinilah kita bisa melihat paradoks bermain. Kita melupakan segala hiruk pikuk
dan kenikmatan duniawi. Kita adalah mahluk yang sesungguhnya jarang menyadari
bahwa kehidupan kita telah begitu panjang dan penuh dengan lumpur. Segala
keramaian dan pesta dunia itu semata sebuah kepalsuan. Yang kita lihat hanya
berupa kekosongan. Orang-orang yang lalu lalang dengan membawa segala cerita
mereka hanyalah pejalan sementara yang masing-masing seolah sedang menuju pada
kesia-siaan. Kita harus bertapa dengan khusuk sejenak walau nanti akan kembali
lagi, tapi pada saat itu bisa jadi kita akan melihat sesuatu yang berbeda atau
bisa jadi kita berjalan dan tiba-tiba telah berada pada suatu kehidupan yang
lebih bermakna.
Fakta
tentang kesunyian ini akan mengukuhkan jika sesungguhnya puisi juga memiliki
otoritasnya sendiri untuk menyampaikan kepada publik atau pembaca. Kemudian
kita akan melihat sejauh mana otoritas itu direspon oleh pembaca. Keragaman
respon pembacaan ini secara umum mungkin bukan sebagai justifikasi atau
legitimasi terhadap teks tetapi lebih pada suatu upaya pembacaan dan pembelajaran
atau reaksi pada sebuah otoritas.
Paradoks
oleh Cleanth Brook juga disebut kontradiksi3.
Tentu penggunaan paradoks dalam sastra akan menghasilkan makna yang lebih dalam
karena kita tak bisa berhenti begitu saja membuat suatu makna kata berhenti dan
dipahami sebagai suatu yang diam. Kita bisa memancing pembaca untuk terlibat
aktif memahami paradoks tersebut. Misal seperti ini, S3 telah membuat generalisasi yang paradoksal bahwa untuk bisa
sampai kepada Tuhan hanya bisa melalui jalan sunyi. Puisi-puisi dalam S3 seolah telah menyampaikan kredo bahwa
di luar kesunyiannya manusia hanya mahluk yang lupa pada Tuhan. Tak ada nilai
ilahiah kecuali dalam waktu dan ruang sunyi. Tentu S3 sesungguhnya telah menyuguhkan paradoks yang membuat kita
berpikir secara tekstual dan kontekstual. Kita bisa saja membuat generalisasi
juga bahwa S3 telah menegasikan
eksistensi dan hakikat kemanusiaan. Lebih jauh bahkan menggiring pada
pengkerdilan kemanusiaan. Nilai-nilai ketuhanan yang sesungguhnya sebagai basis
dan sumber prilaku yang kemudian teraplikasi pada kehidupan hanya diukur ketika
manusia melakukan meditasi pada tuhan di ruang dan waktu sunyinya.
Tentu
paradoks yang dibangun S3 ini
sesungguhnya tak sesederhana itu. Konsep yang dibangun dalam S3 pada akhirnya
akan mempertemukan beberapa titik perbedaan kehidupan manusia dan beragam
kompleksitas yang kemudian ditarik pada satu kata kunci yaitu ‘sunyi.’ Sunyi dalam puisi ini bukan semata
persoalan diksi tapi juga titik awal dan titik akhir yang memberikan ilustrasi
bahwa sesungguhnya untuk memahami jalan kemanusiaan harus terlebih dulu
memahami diri sendiri dengan cara melarutkan diri dalam kesunyian. Diksi dalam S3 dengan penekanan kata ‘sunyi’
sesungguhnya adalah konvergensi karena memang pada kenyataannya sunyi bukan
berarti diam, tapi sunyi adalah akumulasi gejolak dan proses panjang sebuah
perjalanan kemanusiaan.
Sederhananya
seperti ini, sunyi dalam S3 ini tidak
lahir begitu saja. S3 lahir dan bisa
kita baca sebagai suatu pergulatan batin, pikiran, dan benturan yang tentu saja
telah melalui filterisasi. Proses filterisasi secara tekstual yang kemudian
bisa kita baca dalam S3 ini tentu
mengingatkan kita pada satu kaidah bahkan ajaran dasar Roman Jakobson tentang ‘axis
of selection into axis of combination’4, puisi adalah seleksi dan
kombinasi kata-kata yang memiliki kelas kata dan harus diolah untuk mencapai
bahasa yang puitik yang tentu saja berbeda dengan bahasa biasa. Seleksi dan
kombinasi kata dengan menggunakan paradoks telah memberi daya dorong yang kuat
pada S3 bahkan lebih dari itu, ini
bisa menjadi karakteristik tersendiri pada puisi-puisi ini. Sunyi bisa tampil
dengan cara dan nada yang beragam tanpa keluar dari koridor utamanya. Coba kita
baca bait terakhir puisi ini:
akumulasi
renung membuahkan percik embun yang
melumasi
ingatan, o, siapa yang memainkan rahasia rasa,
merasuk
ke pucuk senyap. pertanyaan memantulkan
gaung,
seperti tamparan yang menempelkan pesan:
apakah
pemburu mesti mebawa hasil buruan di hutan?
wirid
putih melangkah sendiri membawa diri, bergantian
ke
ruang silam dekapan jauh dan ke usapan dekat begitu
teduh.
(Antologi
Sepi, hal 42)
Tanpa
keluar dari koridor dan paradoksnya, puisi itu telah mengalami suatu proses
filterisasi yang memberi implikasi puitik. Bait puisi tersebut tidak diam di
tempat. Ia melakukan perjalanan dengan begitu teratur sesuai koridornya untuk
kemudian sampai pada yang ditujunya. Coba perhatikan baris pertama pada kata
‘akumulasi renung’, kata ini sesungguhnya berangkat dari sebuah kerja pikiran
‘renung’ dengan berangkat dari sebuah kesadaran karena digabung dengan kata
‘akumulasi’. Seorang yang sedang melakukan ‘renung’ sesungguhnya otaknya sedang
bekerja, terlebih jika renungnya adalah suatu akumulasi. Ada banyak hal yang
sedang dikerjakan oleh pikirannya. Kerja ‘akumulasi renung’ itu tentu bukan hal
yang sia-sia. Ia ‘membuahkan percik embun yang melumasi ingatan’, tentu saja
segala kerja yang kita lakukan juga mengalami sebuah proses yang terkadang
pelan dan prosedural bahwa ingatan kita kemudian dilumasi oleh ‘percik embun’
sebagai buah dari kerja otak sebelumnya. ‘Percik embun’ bisa kita maknai
beragam baik sebagai alegori atau bukan. Apa yang terjadi kemudian adalah rasio
yang dihadirkan dengan kata ‘renung’ dan ‘ingatan’ bergerak ke arah ‘rasa’, dan
kita sadar bahwa ‘rasa’ yang bersifat ‘rahasia’ ada yang mempermainkan. Proses
ini masih berjalan karena memang kita sesungguhnya tahu bahwa begitu banyak yang
telah mempermainkan ‘rasa’ kita tapi itu terasa ‘rahasia’. Kenyataannya manusia
sering mengalami sesuatu hal yang mereka rasakan tanpa mengetahui mengapa itu
terjadi. Pada puisi di atas, satu cara yang bisa mengantar adalah saat kita
‘merasuk ke pucuk senyap’. Saat renung/rasio dan rasa terasuk pucuk senyap
(sebuah perjalanan menuju waktu dan ruang) kita akan tahu bahwa pertanyaan kita
memantulkan gaung ‘seperti tamparan yang menempelkan pesan’. Kita tahu bahwa
pesan yang ditempelkan itu lebih kuat tersimpan, maka bait tersebut tidak
menggunakan kata ‘menyampaikan pesan’. Komposisi ini menjadi paralel karena
kata yang muncul sebelumnya adalah ‘seperti tamparan’. Begitulah seterusnya
bait puisi ini bergerak hingga akhirnya kita mencapai pada puncaknya dengan
merasakan ‘teduh’.
Mencari dan Menciptakan Momentum
yang Hilang
S3
telah menggariskan dunianya dalam kesunyian. Sepi, senyap, kesendirian
barangkali adalah momentum yang paling tepat untuk kita sampai atau setidaknya
mengenal Tuhan. S3 memang benar
menggunakan sunyi sebagai konvergensi dari segala masalah, ragam, dan
pernak-pernik kehidupan ini untuk kemudian menuju padaNya.
Jika
membaca lebih dalam dan teliti pada puisi-puisi dalam buku ini, kita akan bisa
mengetahui jika pernak-pernik yang ada di belakang sunyi adalah segala hal yang
profan, sekuler, kesia-siaan, syahwat atau nafsu, dan segala perbuatan buruk
lainnya. Itulah kenapa kesunyian akhirnya menjadi momentum untuk mengurangi atau
membersihkan semua kotoran itu.
Ya,
S3 telah menciptakan momentum puitiknya
sendiri. Hanya saja momentum ini dipaksakan bukan sebagai sesuatu yang natural.
Ada generalisasi dan penyeragaman bahwa tak ada momentum yang bisa membawa
manusia kepada kebaikan dan kebenaran di luar kesunyian. Tapi di sisi lain S3 dengan cukup cerdik telah membuka
ruang tafsir tentang kesunyian dengan lebih luas karena S3 menampilkan sunyi bukan sebagai sebuah citraan yang pasif. Sunyi
sekalipun benar dikerangkeng dalam ruang dan
waktu dan dengan sengaja pula telah
menciptakan momentum tersendiri, tetaplah sebuah keaktifan rasa dan rasio yang
kemudian mengukuhkan eksistensi diri.
Sunyi
adalah ibadah, sunyi adalah tahajud, sunyi adalah dzikir, sunyi adalah wirid,
sunyi adalah munajat, sunyi adalah akumulasi renung, sunyi adalah pengembaraan
dan pencarian. Sunyi juga gugusan air mata kemanusiaan yang telah mencapai
klimaks dari suatu fase kehidupan. Betapa sunyi tampil dan menciptakan begitu
banyak momentum puitiknya, artinya sunyi telah ditempatkan dan dimaknai puitik
secara momen dalam begitu banyak cara. Sunyi bukan sebagai sebuah kebosanan,
lamunan, kesia-siaan, dan rasa keputusasaan.
Banyak
sesungguhnya momentum yang hilang, tetapi S3
mampu menciptakan momentumnya sendiri. Momentum puitik sesungguhnya bisa lahir
di manapun namun imaginasi dalam S3
yang menegasikan dan menafikan segala hal di luar kesunyian mencoba mencari,
menyeret dan merangkum momentum-momentum yang hilang tersebut untuk kemudian
diciptakan dengan karakteristiknya sendiri.
kubaiatkan
napasku padamu
dan
tak kuhiraukan lagi tentang makna sampai
karena
hijab hijab antara aku denganmu
terus
berlepasan setiap kusebut
kebesaranmu
dalam hitungan ganjil
hingga
terus kutakzimkan detak nadi
mengalirkan
haru ke muara sunyi
(Syahid
Rindu, hal 35)
Bait
di atas adalah momentum puitik yang diciptakan (untuk tidak mengatakan
dipaksakan), mungkin tidak begitu natural, tapi kita melihat ada jejak yang
membawa kita bahwa bait terakhir puisi ‘Syahid Rindu’ tersebut menyeret kita
pada suatu tempat yaitu ke muara sunyi. Secara struktur baris-baris tersebut
adalah anti klimaks. Jika pada puisi-puisi lainnya sunyi adalah titik berangkat
untuk sampai kepada tujuan yang bisa kita sebut sebagai ‘zat tuhan’ yang dalam
puisi ini bisa dilihat dari kata ‘kebesaran’ dan ‘hitungan ganjil’, tapi pada
baris ini sunyi ditulis pada baris terakhir. Terlepas dari itu, kita bisa
merasakan suatu proses atau perjalanan yang menyeret momentum-momentum lain
terlebih jika kita membaca puisi tersebut secara utuh, begitu juga saat membaca
puisi-puisi lainnya.
Totalitas Ekspresif
Pada
akhirnya kita melihat totalitas kerja seorang penyair dalam buku S3 ini. Suatu upaya yang serius untuk
memaknai sunyi, sunyi yang bekerja untuk mencari dan menemukan titik tujuan.
Sunyi bukan semata suasana yang melankolik dan dramatik yang berbicara tentang
keduniawian tapi sebuah proses spiritual meski masih parsial karena memang
masih bersifat ekspresif.
Sifat
ekpresif itu bisa terlihat karena sunyi dalam S3 adalah eskapisme atau pelarian dari hal yang sekuler dan profan.
Eksistensi manusia sesungguhnya makin kukuh jika mampu menghadapi segalah
kompleksitas kehidupan tanpa harus menghindar dari kenyataan. Kehidupan adalah
ragam persoalan baik individual, sosial, kultural, dan dimensi lainnya yang
bahkan akan mampu menunjukkan sejatinya manusia. Manusia bagaimanapun juga memiliki
intelektualitas dan keluhuran tanpa kehilangan jati dirinya sebagai mahluk
sosial.
Spiritual
yang dibangun dalam S3 juga masih
bersifat parsial, berbicara hanya hubungan vertikal. Diksi sunyi yang
dihadirkan dengan ibadah, munajat, dzikir, doa, wirid dan term-term religi lain
ditambah dengan nuansa eskapistis tentu membuat S3 masih dalam sebuah perjalanan dan pencariannya.
Totalitas
ekspresif S3 bagiamanapun juga telah
memiliki jejak-jejak horisontal dalam suatu dimensi sosial meski masih begitu
samar. Ia berangkat dari sunyi, ia menuju sunyi, ia menyatu dengan sunyi, dan
sunyi adalah antara aku denganmu. Ada satu kredo bahwa saat aku bersama
denganmu, maka segala yang tak terlihat, segala yang terlupa, segala yang kotor
akan menjadi jejak yang kuat untuk akhirnya menyadari bahwa manusia adalah
bukan mahluk kesunyian. Kesunyian lalu akan makin membuat kita begitu bergairah
untuk menghadapi segala kompleksitas, keriuhan, dan segala hingar bingar dunia.
Totalitas
ekspresif dalam S3 adalah upaya luar
biasa untuk memberi makna pada sunyi sebelum akhirnya menjadi totalitas dari
sebuah proses spiritual. Mereka yang telah tiba pada totalitas spiritual akan
mampu membuat sunyi sebagai sebuah ledakan dahsyat bahkan menciptakan momentum
puitik serupa revolusi sosial. Sunyi akan menjelma kekuatan yang mampu mengubah
apapun. Sunyi adalah katalisator.
aku
belum sepenuhnya mengenalmu, saat lautan
seperti
kian meluas, mewadahi ombak yang terus
melafalkan
zikir pengagungan. pun senja kian masak,
dengan
matahari yang lindap ke ceruk persembunyian.
ada
semacam sutra bisikan untuk kembali mencipta
repetisi
penelusuran, lebih hening dan dalam, sebelum
yang
terang benar benar tenggelam
(Aku
Belum Mengenalmu, hal 52)
Totalitas
ekspresif S3 masih digambarkan dalam
bait puisi di atas. Sesungguhnya memang tak akan ada yang pernah sampai, tapi
setidaknya jika kita percaya bahwa manusia adalah mahluk sempurna maka tak ada
alasan untuk tidak berbuat secara total. Pencapaian diukur dari seberapa jauh
usaha dan kerja yang dilakukan. Nanti kita akan juga melihat upaya yang
dilakukan S3 dengan segala
pencapaiannya. Kita akan merasa ‘ada semacam sutra bisikan untuk kembali
mencipta’. Sutra adalah kelembutan, kehalusan, juga kemewahan. Sutra adalah
jejak lain dari simbol dunia yang memberi tafsir betapa kesunyian juga memberi
bisikan, inspirasi, dan ilham bagi manusia untuk mencipta, meski sesungguhnya
kita belum begitu sepenuhnya mengenalnya. Ada repetisi penelusuran.
S3 dengan
totalitas ekspresifnya telah memberi nada optimis meski ia berangkat dari rasa
pesimisme dan eskapisme. Tapi bagaimanapun juga, pesimisme yang berangkat
menuju vertikal adalah pesimisme yang akhirnya memberi terang, ya kita akan
dapatkan itu ‘sebelum yang terang benar benar tenggelam.***
Catatan
akhir
1. Wikipedia:
“Kata paradoks seringkali digunakan dengan kontradiksi, tetapi sebuah
kontradiksi oleh definisi tidak dapat benar, banyak paradoks memiliki sebuah
jawaban, meskipun banyak yang tak terpecahkan, atau hanya terpecahkan dengan
perdebatan.
2. James
H. Pickering dan Jeffrey D. Hoeper dalam bukunya menjelaskan: “Paradox is a
statement that is true in some sense, even though at first it appears
self-contradictory and absurd.” (Concise
Companion to Literature, hal 129-131).
“Like allegory and
metaphor, a paradox requires the reader to participate intelectually in the creation
of literary meaning. (Ibid)
Sementara Wlilliam
Whitla menulis dalam bukunya: “Paradox is a rethorical device that involves a
surface contradiction in tension with an element of truth.........(The English Handbook: A Guide to Literary
Studies, hal 257).
Beberapa teoritisi dan
kritikus sastra juga memiliki pandangan tentang paradoks tetapi sesungguhnya
hampir seragam.
3. Richard
Harland mengutip Cleanth Brook bahwa paradoks hampir sama dengan kontradiksi,
semakin besar paradoks dan kontradiksi dalam puisi, akan makin besar pula puisi
tersebut. Bagi Brook, paradoks atau kontradiksi akan memancing konflik yang
akan memperkuat suatu karya sastra. (Literary Theory from Plato to barthes: An introductory History, hal 189).
Sekadar diketahui
Cleanth Brook adalah seorang kritikus yang dikaitkan dalam suatu gerakan sastra
yang disebut ‘New Criticm’ yang menekankan pembacaan karya sastra dengan cara
tertutup atau close reading.
Sesungguhnya saya juga
sedang berusaha melakukan pembacaan puisi pada S3 ini dengan pembacaan tertutup, pembacaan yang hanya didasarkan
pada teks.
4. Hans
Bertens mengutip pandangan Roman Jakobson: “Every time we use language what we
say or write is a combination of words selected from a large number of classes
and categories. (Literary Theory: The
Basics, hal 47-48).
Menurut Jakobson,
awalnya seleksi yang bekerja menuju kombinasi tersebut hanya pada pemilihan
kata atau diksi, selanjutnya ia akan bergerak pada lapangan makna yang banyak
digunakan dalam bahasa puisi yang kemudian dikenal sebagai ‘Poetic Function’. Sangat
mungkin makna-makna dalam suatu kata menjadi berbeda atau kita yang membuatnya
berbeda dalam suatu puisi.
1. Pickering,
James H., Hoeper, Jeffrey D. (Concise Companion to Literature, Macmillan
Publishing, 1981).
2. Selden,
Raman., Widdowson, Peter., Brooker Peter. (A Reader’s Guide to Contemporary
Literary Theory, Prentice Hall/Harvester Wheat Sheaf, fourth edition, 1997).
3. Harland,
Richard. (Literary Theory from Plato to Barthes: An Introductory History, St.
Martin Press, New York, 1999)
4. Zima,
Peter V. (The Philosophy of Modern Literary Theory, The Athlone Press, London, 19990.
5. Bertens,
Hans. (Literary Theory, The Basics, Roudledge, New York, 2001)
6. Scholes,
Robert. (Paradoxy of Modernism, Yale University Press, 2006)
7. Whitla,
William. (The English Handbook: A Guide to Literary Studies, Wiley-Blackwell,
2010)
8. Wikipedia,
ensiklopedi bebas.
0 Komentar