Keseriusan
atau Keisengan
Karya
sastra baik berupa puisi, cerpen, novelet, novel, dan drama pada dasarnya
adalah sebuah karya yang lahir dari suatu perenungan yang dalam walau ada juga,
bahkan banyak yang hanya menganggap suatu keisengan. Siapa saja bisa menulis
karya sastra. Imajinasi, pikiran, gagasan atau pembacaan seseorang atas teks
dan realitas masyarakat yang ada di sekitarnya atau juga pengalaman hidup diri
sendiri dan orang lain adalah hanya berupa sumber dan cara bagi seseorang untuk
bisa melahirkan karya sastra. Tingkat dan kemampuan pembacaan inilah nanti yang
akan membuktikan bagaimana suatu kualitas karya.
Kita
bisa saja menganggap karya sastra adalah fiksi, tak nyata, hanya berupa imajinasi
dari sang pengarang. Tak salah pendapat tersebut, karya sastra memang bukan
karya ilmiah, meski karya sastra memang dapat dikaji dan dipelajari. Bahkan di
sekolah ada mata pelajaran yang membahas karya sastra. Di universitas juga ada
fakultas yang mengkhususkan diri membahas tentang sastra.
Sebagai
karya imajinasi, seorang yang menulis puisi atau karya sastra lainnya, tak
perlu harus bermain dengan data, riset, atau banyak referensi. Yang menjadi
dasar penulisan adalah imajinasi anda sendiri. Pendapat ini mungkin akan banyak
yang menyanggah, tapi penekanan pendapat ini adalah bukan terletak pada
pembacaan karya sastra, tetapi tentang penulisan karya sastra atau dengan
bahasa sederhana, bagaimana suatu karya sastra tercipta.
Meski
seseorang tak pernah belajar langsung secara mendalam tentang sastra, tapi bisa
jadi ia mampu menulis karya sastra, khususnya karya dalam bentuk puisi dengan
sangat baik. Imajinasinya yang tinggi mampu menjadi landasan baginya untuk
menulis puisi. Kita bisa saja terkagum-kagum atas keindahan dan kedalaman makna
puisi para penulis generasi muda sekarang yang mampu menulis dan menghasilkan
banyak karya meski mungkin sebagian besar mereka bukan berasal dari fakultas
sastra.
Bukan
berarti juga imajinasi tinggi seseorang dalam menulis puisi abai terhadap unsur
pembelajaran. Pembelajaran bisa dilakukan di manapun dan kapanpun dan dengan
cara apapun. Mereka yang menghasilkan karya sastra agung juga belajar banyak
hal meski tanpa duduk di bangku sekolah untuk khusus belajar sastra.
Bagaimanapun juga mereka yang mampu melahirkan karya sastra yang bermakna dan
memiliki kualitas tinggi pastilah memiliki landasan yang kuat akan
kaidah-kaidah sastra.
Perenungan
Imajinasi
yang tinggi juga membutuhkan perenungan yang dalam. Seorang tak muncul tiba-tiba
menulis karya sastra. Mereka juga perlu merenung dan menghayati secara mendalam
terhadap apa yang mereka tulis. Mereka tentu tak sembarang menulis begitu saja
untuk kemudian diterbitkan dan dibaca oleh banyak orang. Terkadang suatu karya
butuh diendapkan dalam waktu yang cukup lama untuk kemudian dibaca dan dikaji
ulang. Hampir mustahil – walau ada juga – kita mendapatkan karya sastra yang
luar biasa yang muncul tetapi dihasilkan secara instant oleh penulisnya,
pastilah melalui proses yang panjang.
Hal
lain yang mendukung seorang mampu menulis puisi adalah ketika mereka
menggunakan nuraninya saat menulis. Hal ini mungkin seperti sepele, tapi
sesungguhnya ini adalah suatu kekuatan yang mampu menjadikan suatu karya sastra
begitu luar biasa. Dengan kata lain karya sastra yang ditulis dengan nurani
akan memiliki daya evokatif yang luar biasa. Kejujuran, pendalaman, dan
pergulatan batin menjadi sebuah pertaruhan.
Kita
bisa merasakan sendiri betapa kita bisa tersentuh saat membaca puisi dengan
sungguh-sungguh, bahkan nurani kita mampu tergerak bangkit saat kita membaca
dan menghayati akan makna puisi tersebut, walau kemudian setelah itu ada yang
membekas atau benar-benar hilang lepas.
Tentu
seorang yang menulis puisi secara sungguh-sungguh dengan menggunakan imajinasi
dan nuraninya akan menjadi berbeda hasilnya. Ada satu hal yang akan merekatkan
ikatan batin antara penulis dan pembaca, yaitu perasaan itu sendiri. Itu
artinya, seorang penikmat atau pembaca puisi juga harus memiliki kepekaan yang
tinggi saat membaca puisi. Sederhananya, mereka yang membaca puisi juga harus
menggunakan nurani.
Hal
yang terindah saat seorang menulis puisi adalah saat mereka juga sedang
mengalami suatu peristiwa yang memiliki ikatan kuat dengan emosinya, istilah
yang tepat untuk ini adalah “Poetic Moment” atau momentum puitik. Puisi dengan
jenis ini memiliki daya evokatif yang begitu kuat dan dalam. Seorang pembaca yang
membaca puisi seseorang yang ditulis saat sang penulis mengalami “Poetic Moment,”
maka daya pengaruh puisi itu juga bisa dirasakan. Hal itu sebenarnya bisa jadi
karena puisi itu akan menjadi kisah yang kemudian dinarasikan oleh banyak orang
dan menjadi sebuah mitos selain karena puisi itu sendiri telah mengalami dan
menemukan momentum puitiknya.
Banyak
puisi ditulis dengan bahasa yang sangat indah dan dengan tehnik yang begitu
tinggi, tapi terasa puisi itu kering seolah tanpa spirit atau tanpa ruh. Hal
yang terasa aneh lagi adalah saat kita membaca puisi tapi kita tak mengerti
akan pesan dan makna puisi tersebut, dan yang lebih mengerikan bahwa sang
penyair juga tak paham apa yang ia sampaikan. Ini tentu saja bisa terjadi. Sang
penyair menulis puisi hanya didasarkan pada permainan kata-kata tapi dangkal
dengan rasa. Sekali lagi, hal ini sangat mungkin terjadi. Kita tak akan mungkin
mampu menulis puisi dengan baik jika kita hanya menulis dengan tujuan bahwa
kita ingin disebut sebagai seorang penyair atau sekadar ingin menunjukkan bahwa
kita mampu menulis atau bisa jadi karena kita ingin mengikuti lomba menulis
puisi. Alasan lain bisa saja seorang memaksakan diri untuk menulis puisi karena
ingin mengikuti antologi puisi yang kerap kali tak ada seleksi atau kurasi yang
dilakukan oleh tim yang benar-benar memiliki otoritas dan kredibilitas dalam
sastra.
Banyak
antologi puisi dibuat sekadar untuk menambah koleksi. Seorang bisa saja menulis
puluhan antologi puisi misalnya dan semua puisinya dimuat karena tak ada
kurasi, lalu dengan bangga ia menulis di biodata betapa banyak karya yang telah
ia cipta. Ada juga yang menulis karena target, bahwa sehari ia menulis sebuah
puisi, mungkin ini sedikit lebih baik, mendorong dan memotivasi diri untuk
selalu berkarya, tapi sayangnya terkadang penulis sendiri tak memiliki waktu
lagi untuk merenung dengan nuraninya tentang karyanya tersebut hingga akhirnya
puisi yang ia hasilkan seolah tak lahir dari nurani. Pernah terjadi juga
seorang menulis berdasarkan pesanan seseorang. Hal-hal tersebut sering terjadi
dan sesungguhnya tentu bukan sebuah masalah, hanya saja adakah kesempatan bagi
diri kita menemukan suatu momentum puitik saat menulis puisi atau sekadar
memaksakan diri kita bermain dengan kata-kata semata.
Kita
memang tak harus menemukan momentum puitik tersebut saat menulis puisi atau
karya sastra tapi setidaknya ada ruang dan waktu dimana kita benar-benar
melahirkan karya dengan sepenuh hati, yaitu berdialog dengan nurani. Selain itu
sesungguhnya kita tak perlu terlalu mengejar kuantitas tapi abai terhadap
kualitas. Produktivitas sesungguhnya proses kreatif itu sendiri. Jika kita
memiliki kreativitas dan mengikuti proses yang baik dengan sendirinya kualitas
juga akan mengikuti. Maka sesungguhnya puisi yang indah dan kuat adalah puisi
yang ditulis dengan kesadaran, kejujuran, nurani dan mampu melihat momentum
puitik meski unsur imajinasi adalah suatu hal yang tetap dibutuhkan.
Ya,
nurani yang peka dan terlatih terhadap segala yang ada dan terjadi sesungguhnya
juga sumber inspirasi yang mampu menemukan momentum puitiknya sendiri. Baik
penulis dan pembaca, saat membaca puisi tersebut, maka seolah sedang berbincang
dengan nurani mereka sendiri meski tetaplah penting mempelajari ilmu sastra
karena bagaimanapun puisi dan karya sastra lainnya memiliki kaidah-kaidah yang
lahir bukan semata terjadi begitu saja. Kombinasi nurani dan pikiran akan
membuat puisi atau karya sastra bisa hidup melintasi zaman karena pada akhirnya
puisi itu sendiri bisa menjadi sebuah pembelajaran.
Tulisan
ini pernah disiarkan Litera, 21 Juni 2016
0 Komentar