Puisi: Suatu Pembacaan Umum

 

 

Puisi tentu saja suatu yang tak asing bagi hampir semua orang. Menulis puisi banyak dilakukan orang saat mereka berada pada suatu momentum di mana kondisi batin sedang mengalami tegangan; keresahan, kebahagiaan, iseng, atau saat sedang jatuh cinta. Ini kerap dilakukan orang banyak (Baca; awam atau pemula). Mereka menjadikan puisi sebagai curahan batin. Tentu itu sah-sah saja karena pada faktanya itu bisa kita temukan di banyak orang. Kita bisa membaca puisi tersebut di lembaran kertas atau catatan harian seseorang, di media sosial seperti fesbuk atau bisa jadi dari kiriman pesan seseorang di aplikasi whatsap. Ini adalah suatu hal yang lumrah.

Mereka yang telah disebut para penyair pun sesungguhnya mengalami situasi yang sama, menulis puisi di banyak ruang, hanya saja media yang digunakan sedikit agak lebih luas namun cukup ketat. Penyair akan lebih senang menulis puisi untuk mengukuhkan eksistensinya. Mereka menulis puisi untuk dikirim ke surat kabar, panitia lomba, event tertentu yang kemudian membuat puisinya bisa masuk pada suatu antologi.

Perbedaan bagi mereka yang awam dan pemula dengan mereka yang telah memiliki predikat sebagai penyair mungkin terletak pada suatu kenyataan bahwa mereka disebut penyair karena karya mereka telah mengalami kurasi, meski sesungguhnya kedudukan kurator bukan satu-satunya yang menobatkan seseorang menjadi penyair karena bagaimanapun sering kali kurasi dilakukan dengan begitu longgar atau bahkan semacam formalitas. Ini kerap terjadi pada buku antologi puisi bersama, hanya media surat kabar dan lomba penulisan puisi yang prestisius yang melakukan cukup ketat kurasi meski subyektifitas kadang masih terjadi.

Percikan ini sesungguhnya ingin menekankan betapa mudahnya orang bisa menulis puisi juga betapa tak sulit sesungguhnya untuk bisa disebut penyair. Itu sesungguhnya bukan hal yang begitu penting untuk diperdebatkan. Hal yang lebih penting adalah bagaimana sebuah puisi mendapat tempat dan apresiasi dari khalayak dan bisa menjadi sebuah pembelajaran. Puisi yang bukan ditulis lalu lewat begitu saja seperti asap yang kemudian benar-benar lenyap secara hakikat.

Pada titik inilah, di mana puisi bisa menjadi suatu hal yang berarti dan pembelajaran, kita membutuhkan “pembaca”. Bisa jadi “pembaca” ini adalah seorang teoretikus, akademisi atau guru, esais, kolumnis, pengamat atau penelaah, kurator, redaktur, dan kritikus. Keberadaan mereka bisa menjadi apresiator pada puisi-puisi yang bertaburan. Pembacaan mereka terhadap suatu karya dilandasi suatu semangat untuk mengembangkan dunia sastra dan meningkatkan kualitas puisi.

Hampir semua orang mampu menulis puisi karena sesungguhnya menulis puisi bisa dengan meniru pola-pola yang telah ada, dan nyatanya penulisan puisi muncul secara seragam. Hanya sedikit yang mungkin memiliki perbedaan walau pada kenyataannya nanti memang butuh penelitian dan pendalaman tersendiri untuk suatu pengujian. Hampir semua orang juga mampu menjadi pembaca dan menilai puisi orang, tapi sangat sedikit sesungguhnya pembaca yang mampu memberikan pembacaan yang memiliki nilai dan kualitas yang mampu mendorong penulis puisi dan orang banyak mendapat suatu pembelajaran.

Kedudukan “pembaca” menjadi penting. “Pembaca” jenis ini adalah mereka yang benar-benar jeli, serius, dan memiliki konsen dan integritas untuk benar-benar berniat mengangkat kualitas suatu puisi dengan parameter yang jelas. Bisa jadi seorang penyair atau penulis puisi mengatakan, “saya serahkan pada pembaca bagaimana mereka menilai puisi saya.” Tentu saja itu adalah hak mereka para penyair untuk mengatakan itu walau sesungguhnya hal ini adalah suatu hal yang tak dapat dipertanggungjawabkan karena pembaca secara umum akan menilai puisi dengan cara tak terukur. Bisa jadi penilaian pembaca berdasar faktor suka atau tak suka, faktor kepentingan dan faktor perasaan tak enak, faktor pertemanan, dan masih banyak lagi. Pembaca jenis ini akan dengan mudah mengatakan, “Ah puisi ini jelek” atau “Nah puisi ini bagus” sementara landasan pembacaan yang digunakan sangat subyektif dan tak jelas. Tentu ini sangat tidak fair bahkan terkesan konyol serta gegabah.

Pembacaan yang baik pada puisi tentulah sangat diharapkan. “Pembaca” yang baik pun ketika menulis penilaiannya pada puisi dengan cara yang estetik sebagaimana sebuah puisi juga ditulis secara estetis. “Pembaca” tentu harus menguasai seperangkat analisis dan teoretis karena sesungguhnya sebuah pembacaan adalah sebuah proses ilmiah yang terukur dan yang mampu melihat titik lemah dan kuat suatu puisi.

 

Pembacaan umum pada puisi 

 

Bagi seorang “pembaca” pada tataran awal yaitu pada surface structure atau struktur luar tentu saja tak begitu sulit memetakan antara puisi yang bagus dan yang tak bagus. Pemetaan ini sesungguhnya telah mampu mengklasifikasikan antara penulis puisi (orang awam/pemula) dan penyair.

Masing-masing orang bisa jadi memiliki pemahaman yang berbeda soal puisi, tapi apapun itu sesungguhnya puisi tetap memiliki kaidah, koridor, rambu, bahkan suatu aturan yang cukup rigid dari sisi estetika, penggunaan bahasa yang tak biasa yang bisa dilihat dari struktur luar yang kemudian berpengaruh pada strukur dalam, juga gaya bahasa. Puisi dipenuhi simbol, metafora, dan momentum rasa yang dalam serta imaginatif. Karakteristik tersebut yang membedakan antara puisi dengan curhat, diari, jargon, pengumuman, selebaran, propaganda, nasihat, ceramah dan tulisan lain-lainnya. Kita bisa membuktikan sendiri saat membaca puisi seseorang, kita kadang merasa puisi tersebut sedang memberi nasihat yang menjemukan tak ubahnya seorang sedang berkhutbah. Puisi memiliki bahasanya sendiri. Menggunakan istilah sastrawan asal Lampung, Ahmad Yulden Erwin, puisi tentu saja berbeda dengan racauan. Yulden sering merasa ia sedang melihat orang-orang sedang meracau dengan kata-kata yang mereka sebut puisi.  

Puisi bertumpu pada kemampuan seseorang mentranformasikan suatu konsep, ide, gagasan, pandangan, atau pemikiran ke dalam kata-kata yang juga memiliki karakteristik tersendiri dengan estetika yang benar-benar terukur dan efisien. Diksi yang tepat akan sangat mendukung proses transformasi tersebut karena ini nanti akan membangun suatu struktur yang lebih luas, yaitu puisi yang sedang ditulis itu sendiri. Kebebasan sesungguhnya tak dibatasi sepanjang kita mampu menjadikan suatu puisi itu mampu menyampaikan pesan yang jelas. Estetika juga tak membatasi seseorang untuk bisa mentransformasikan ide dan pesan pemikirannya. Sebaliknya juga, pembacaan yang terukur juga mampu mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan suatu puisi. Tentu seorang penyair dan orang awam atau pemula akan terliihat sangat berbeda saat melakukan transformasi pemikiran ke dalam bentuk tulisan.

Diksi tidaklah harus yang melangit dan muluk-muluk dengan penggunaan kata yang asing dan susah dimengerti meski itu juga boleh saja terjadi, tapi bagaimana diksi itu terangkai dan tersatukan secara puitik dan estetik akan menjadi lebih berarti. Bagi seorang atau sebagian kecil penyair terkadang diksi tidak begitu penting karena akan lebih menekankan kekuatan imaginasinya menangkap ide yang kemudian ditransformasikan dalam puisi dan menjelma suatu inovasi baru. Inovasi tersebut apakah puitik atau tidak, berhasil atau gagal, inilah yang akan menjadi tantangan “pembaca.”  Jika “pembaca” tak mengambil peran akan sangat mungkin puisi yang sesungguhnya gagal karena hanya serupa racauan bahkan bisa menjadi acuan atau panutan, sebaliknya puisi yang sesungguhnya bagus tak mendapat perhatian.   

 Pembacaan terhadap puisi adalah suatu proses ilmiah, maka “pembaca” harus mampu menggunakan pendekatan dan metode yang tepat saat melakukan penilaian. Ini sangat penting agar puisi bukan menjadi suatu pengumbaran kata-kata semata dan bukan sekadar menjadi alat kepentingan. Keakuratan pembacaan ini akan mampu mendudukkan puisi pada tempat yang layak, baik sebagai apresiasi dan pembelajaran, juga kontrol akan nafsu seseorang (penyair). Bagaimanapun juga saat sebuah puisi tampil dan maju ke publik, itu harus paham betul pada kondisi yang ada dan yang sedang disampaikan. Sebagian penyair mungkin sadar betul akan ini, tapi sebagian penyair lain melenggang dengan segala kebebasannya tanpa aturan dan norma hingga kontrol dari “pembaca” diperlukan. Lebih dari itu penyair dengan puisinya bisa berdialektika dengan khalayak (pembaca secara umum) demi suatu pendewasaan dan pengembangan pemikiran.     

 Seorang teoretikus, akademisi atau guru, esais, kolumnis, pengamat, penelaah, kurator, redaktur, dan kritikus tentu akan lebih baik jika mulai mengambil peran lebih besar sebagai “pembaca” yang bisa menjadi apresiator bagi puisi-puisi anak bangsa agar sastra negeri ini makin mendapat tempat yang layak meski dengan sedikit cara yang berbeda, tapi semangat tetaplah sama.  

 

Esai ini pernah disiarkan litera, 8 Maret 2017     

 

 
 

Posting Komentar

0 Komentar