Ranjang dan Tubuh yang Kesepian

 

Judul: Perempuan Bulan Ranjang

Penulis: Iman Sembada

Penerbit: Imaji

Cetakan pertama: September 2016

Tebal: 63+vi hal

ISBN: 978-602-1545-07-2

 

Buku puisi Perempuan Bulan Ranjang adalah antologi puisi tunggal yang ke-dua karya Iman Sembada, penyair kelahiran Purwodadi yang kini tinggal dan bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Dewan Kesenian Depok. Selain sebagai seorang penyair, Iman juga seorang pelukis.

Puisi-puisi Iman cenderung beraliran romantisme. Romantisme memang memiliki beberapa karakteristik dan katakanlah sub aliran. Kita bisa merasakan hal tersebut di buku yang memuat 48 puisi ini. Perempuan Bulan Ranjang adalah eksplorasi perasaan dan subjektivitas dalam menangkap fenomena yang bergerak lalu memasuki ruang batin sang penyair. Jika kita menyederhanakan makna romantisme sebagai sesuatu yang lebih menekankan aspek batiniah atau emosi – secara lebih spesifik adalah perasaan seseorang pada lawan jenis yang begitu sentimentil dan mendayu-dayu -  maka kita akan menemukan hal itu pada hampir semua puisi di buku ini.

Hampir semua fenomena dan wujud telah menjelma menjadi tubuh yang kemudian dieksplorasi lebih mendetail sebagai anggota tubuh semisal, mata, hidung, dada, sel, dan yang lain. Kita akan merasakan cuaca, alam, angin, kabut, ranjang, rakit, bulan, telaga, suara burung, dan segala yang kita lihat di depan mata yang kemudian menjadi inspirasi ditransformasikan ke dalam anggota tubuh. Anggota tubuh tersebut lalu berbicara dan berdialektika. Poros dialektika antara tubuh sebagai jelmaan segala wujud adalah dengan bahasa batin. Di sinilah romantisme puisi tersebut menjadi kuat karena seluruh benda yang bekerja di luar tubuh kita adalah tubuh kita sendiri. Tubuh kita pun hanya berbicara dengan bahasa kalbu.

Hal yang lebih mencengangkan lagi kemudian adalah bahwa seluruh wujud yang menjelma tubuh dan anggotanya tersebut adalah serupa tubuh perempuan yang terbaring di atas ranjang. Apa yang terlintas di pikiran kita secara umum saat menafsirkan simile atau metafora tersebut barangkali hampir seragam meski bisa saja sedikit berbeda. Barangkali perempuan di ranjang tersebut sedang mengalami satu kepekaan tinggi untuk memahami atau dipahami. Ada satu hal yang bisa kita telusuri lalu menjadi kepedulian kita bersama yaitu soal nurani yang mulai tumpul dan harus kita asah kembali.

Hal di luar tubuh kita adalah fenomena dan realitas sosial, masyarakat, budaya, alam, dan kehidupan itu sendiri. Jika semua tersebut adalah tubuh kita yang telah menjelma perempuan di atas ranjang yang berbicara dengan batin dan perasaannya, maka yang bisa kita tangkap adalah betapa telah begitu parah kehidupan ini. Bisa jadi tak seperti itu, tapi setidaknya ada hasrat yang kuat untuk bisa diperhatikan atau bahkan dilayani hingga tuntas agar tak menjadi suatu kekacauan perasaan dan pikiran yang suatu waktu bisa meledak tak terkendali jika tak segera dilepaskan atau diselesaikan.

Lebih menjelajah lagi, sesungguhnya perempuan di ranjang tersebut mengalami kesepian, bukan saja sekadar menyimpan hasrat yang barangkali bisa segera tuntas saat menemukan momentum atau kesempatan yang bisa saja diciptakan oleh sang perempuan tersebut. Apa yang lebih menyedihkan dari sepi, terlebih bagi perempuan yang menatap bulan di atas ranjang, sebuah bahasa figuratif yang sudah umum bagi banyak orang. Hasrat yang menggebu untuk dicintai barangkali tepat untuk menjawab ini. Begitulah kehidupan dan anggota tubuhnya, semua menuntut untuk dicintai. Jika kita tarik makna pada suatu lingkup yang lebih luas, betapa kehidupan dan dunia tempat kita hidup ini telah menjadi kering tanpa cinta. Namun tentulah itu akan menjadi pelukisan yang begitu abstrak jika penyair menulis sesuatu hal yang mungkin membutuhkan pendalaman lebih lanjut, maka hal yang paling mungkin adalah membuat simbolisasi dan menghidupkannya dengan wujud seorang perempuan.

Romantisme dalam puisi ini benar-benar mengajak kita untuk membuka mata batin bahwa ada perempuan bulan ranjang dalam kesepian yang mesti kita hampiri dan kita perhatikan. Kita terlalu sering melupakan anggota tubuh kita lalu sadar atau tak sadar betapa banyak debu dan daki yang menempel dan menjadi kotoran. Tubuh kita juga sering hanya berbicara dengan bibir sementara batin kita biarkan diam lalu hangus. Jika telah terjadi seperti itu apa yang bisa kita perbuat? Mungkin baris ini bisa menjawabnya.

 

Hatimu hangus dikerumus sepi

Sucikan kembali dengan puisi

(Segurat Surat buat Hilwa, hal 2)

 

Perempuan Bulan Ranjang telah menjawabnya. Bahasa kalbunya adalah puisi. Bahasa yang dapat menyucikan tubuh bahkan hati yang telah hangus. Kecemasan, kerinduan, atau bahkan kesepian juga hasrat yang memuncak sesungguhnya adalah akumulasi dari tubuh yang begitu banyak menahan beban. Tubuh yang perlahan dipenuhi kotoran hingga hampir tak ada ruang dan tempat untuk bermain, saling melepas lelah atau bahkan berbincang tentang keindahan. Segalanya terasa tak punya makna. Hanya ranjang yang tersisa. Ranjang di mana perempuan menunggu sesorang datang mengusir kesepian dan menjadikan tubuhnya kembali bergairah dalam menghadapi begitu banyak persoalan kehidupan. Ya, begitulah kehidupan ini, terlalu banyak beban yang namun sesungguhnya bisa diatasai oleh orang dengan berbagai cara, namun puisi adalah cara yang paling mungkin untuk mengatasinya, karena sesungguhnya puisi adalah spirit atau ruh yang benar-benar hidup dan mampu menghidupkan.

Ranjang dan perempuan kesepian yang sesungguhnya pada sepasang matanya seperti bukit yang hijau dan sejuk. Di sana pohon-pohon tua tumbuh menjulang lalu menaburkan biji-biji puisi. Biji puisi tersebut yang nanti membangkitkan kembali segala harapan dan keindahan. Sepasang mata yang di kedalamannya terlihat gemericik air dan kejernihan yang membasuh kesenyapan. Begitulah puisi “Sepasang Matamu” seorang perempuan digali oleh Iman Sembada dengan penuh kesungguhan.

Segala tentang kesepian itu pada akhirnya memang harus diakhiri. Ruang batin yang telah tertabur biji puisi adalah serupa lelaki yang datang dan menemani sang perempuan. Lalu dua tubuh saling mengisi. Kita bisa merasakan satu hal yang dramatis dan romantis sekaligus fantatis yaitu sebuah keyakinan dan kekuatan untuk menjemput harapan seperti yang bisa kita baca di baris ini:

 

Dan perempuan bulan tidur berbantal dada lelaki

Lalu lirih

Kudengar ranjang bergurit derit, kemarau panjang

akan segera pamit

 

(Perempuan Bulan Ranjang, hal 23)

 

Eksplorasi batin dan emosi pada buku puisi ini sesungguhnya telah hampir mencapai puncak. Setidaknya Iman Sembada benar-benar melakukan satu pendalaman yang sangat matang. Kedalaman simbolik dan filosofis hanya mampu ditangkap bagi mereka yang benar-benar mampu menggunakan bahasa kalbunya untuk menyelam pada puisi-puisi di buku ini. Komposisi yang puitik mampu terangkum dengan begitu harmonis. Kesatuan dan integrasi diksi memang telah menjelma serasa tubuh kita sendiri. Hampir semua berfungsi dengan baik. Citraan terasa sangat hidup. Inilah perjalanan kesepian yang begitu panjang di mana pada puncaknya berakhir sudah penantian.

 

Elaborasi tubuh, simbol personal, dan suatu konvergensi

Yang perlu menjadi suatu catatan adalah bahwa sang penyair harus segera beranjak dari ranjang, perempuan bulan, dan kesepiannya. Ini harus dilakukan agar para pembaca tak disuguhkan pada tema yang dibungkus dengan narasi yang hampir seragam. Ranjang dan tubuh perempuan hanya satu bagian kecil yang tak mampu menampung segala persoalan atau dengan kata lain jangan biarkan di sana segala beban tersimpan. Jika sang penyair masih ingin bertahan pada Perempuan Bulan Ranjang, dan menjadikan benar-benar tema dan narasi sentral, ia harus mampu melakukan penjelajahan bagian-bagian lain yang memang masih sangat mungkin digali lebih dalam. Iman masih mungkin menciptakan simbol-simbol personalnya dengan memainkan tanda-tanda secara lebih elaboratif dan evokatif.

Sesungguhnya memang masih sangat mungkin dan terbuka bagi Iman melakukan elaborasi itu, di mana anggota tubuh lain menjadi titik-titik konvergensi bagi beragam fenomena dan realitas sosial dan masyarakat bahkan kehidupan. Iman bisa tubuh perempuan tersebut menjadi ruang besar sekaligus spesifik yang menyimpan dan mengakomodir begitu banyak persoalan. Romantisme anggota tubuh perempuan tak sebatas imajinasi yang sudah lazim. Jauh lebih luas dari itu, Iman masih bisa menghidupkan ranjang dengan puitik karena bagaimanapun ranjang dan tubuh memang saling koplementer di sini.

Memang Iman tak menjadikan buku puisi ini satu tema tunggal tentang perempuan dan anggota tubuhnya, namun ia tengah berusaha sangat keras untuk itu. Perempuan Bulan Ranjang telah cukup berhasil mencapainya, meski masih banyak kemudian keluar dari anggota tubuh dan ranjang dan menyuarakan suara-suara lain yang kemudian mengaburkan dan mengalihkan perhatian pembaca pada hal-hal yang sangat biasa meski tetap puitik.

Pada akhirnya pembacaan dan pendalaman memang perlu bagi semua penyair. Ini tantangan bagi para penyair. Konvergensi yang dilakukan seorang penyair akan menjadikan sebuah buku atau karya menjadi lebih kuat dengan karakter yang mampu menjadi indikator seberapa jauh seorang penyair telah melakukan pengembaraan puitiknya. Buku puisi Perempuan Bulan Ranjang ini bisa menjadi sebuah usaha awal yang cukup berhasil untuk meneguhkan seorang Iman Sembada sebagai seorang penyair dengan karakteristik seorang pembelajar serius, tak sekadar atau sembarang menulis. Perempuan Bulan Ranjang adalah kontemplasi sekaligus penjelajahan tanda yang tak berhenti. Anggota tubuh adalah benar-benar hidup dan berdialektika, menangkap dan menyampaikan isyarat dengan cara ungkap yang memikat, tersering lirih dan mendayu namun sesekali menghentak dahsyat dengan ledakan gejolak.

 

Tulisan ini telah disiarkan di harian Sumut Pos, edisi 26 Agustus 2017, dan litera. Tulisan ini versi yang lebih panjang.

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar