Judul buku : Dari
Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu
Penulis :
Sunlie Thomas Alexander
Penerbit : Gambang
Cet Kedua : Juni 2020
Tebal : vii + 206 hal
ISBN : 978-602-6776-99-0
Buku
berjudul Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu: Dari Parodi
sampai Black comedy, selanjutnya disingkat Dari Belinyu adalah buku yang bisa dikategorikan sebagai kritik
sastra atau mungkin lebih asyik didengar sebagai buku apresiasi sastra. Istilah
kritik sastra meski sesungguhnya bukan istilah yang asing dalam dunia akademik
dan dunia sastra di Indonesia, namun faktanya bisa menjadi suatu yang menbuat
alergi bagi para sastrawan di Indonesia, khususnya para penyair dan prosais,
dua genre yang paling banyak diminati, digeluti, dan diproduksi, dengan dilihat
dari produktivitas karya yang lahir.
Tradisi
kritik sastra memang masih bisa dibilang belum begitu sehat di tanah air kita.
Tak banyak pula yang bisa kita sebut sebagai kritikus kecuali beberapa nama
besar yang memang telah melahirkan banyak tulisan sebagai penilaian terhadap
karya sastra. Ini tentu tak sebanding dengan berapa banyak karya sastra yang
lahir dan diproduksi secara cukup massif di negeri kita.
Buku
yang ditulis oleh Sunlie Thomas Alexander ini tentu bisa menjadi suatu
referensi di tengah belum maraknya tradisi kritik atau apresiasi karya sastra
di Indonesia. Selama ini banyak yang kita baca hanya sebatas esai singkat yang
ditulis dengan kurang padat dan menukik serta metodologi yang kurang tepat
terhadap pembacaan beberapa karya sastra baik puisi, cerpen, atau novel.
Sumlie
dengan seperangkat pembacaan dan metodologi menghadirkan suatu tehnik baru
dengan mengupas secara umum namun cukup representatif juga komprehensif beberapa
buku karya para sastrawan Indonesia ternama – plus satu penulis luar negeri – dalam
sub genre cerpen dan novel. Ini suatu hal yang memang sangat jarang dilakukan
oleh beberapa penulis atau pemerhati sastra di Indonesia belakangan ini,
padahal sesungguhnya karya sastra sangat penting diapresiasi dan dijadikan
pembelajaran.
Buku
ini memang tidak ditulis secara fokus sebagai buku utuh, namun dikumpulkan dari
beberapa makalah yang awalnya disertakan dalam lomba-lomba kritik sastra yang
diadakan beberapa lembaga di negeri kita. Beberapa tulisan tersebut meraih
predikat juara. Namun tentu saja semua tak mengurangi bobot buku ini sebagai
buku yang patut dijadikan referensi bagi para pemerhati sastra di Indonesia
dalam memulai kritik sastra terapan.
Ada
enam tulisan dalam buku ini yang tidak sekadar mengisahkan lima buku sastrawan
Indonesia plus satu penulis luar negeri. Tulisan tersebut juga menawarkan
metodologi pembacaan hingga mampu mengajak pembaca mampu memasuki dunia yang dibangun
oleh karya tersebut. Enam buku tersebut adalah: Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu (A.S. Laksana), Kota-kota Kecil yang Dibangun dan Kujumpai (Raudal
Tanjung Banua), Surga Sungsang
(Triyanto Triwikromo), Lampuki
(Arafat Nur), Dawuk: Kisah Kelabu dari
Rumbuk Randu (Mahfud Ikhwan), dan China
Men (Maxime Hong Kingston).
Parodi, Realisme Magis, dan Black
Comedy
Sunlie memulai dengan memperkenalkan
parodi dalam membaca Murjangkung: Cinta
yang Dungu dan Hantu-hantu, buku kumpulan cerpen karya A.S.Laksana atau
yang lebih dikenal Sulak. Parodi adalah sebuah keriangan yang bermain-main tapi
serius seraya berikhtiar memperolok-olok apa yang telah ada, yang tampak resmi,
bahkan yang telah diterima khalayak luas sebagai kebenaran, tulis Sunlie.
Parodi sesungguhnya ada di mana-mana
dan bidang apa saja. Sunlie menilai karya Sulak dalam Murjangkung ini adalah
parodi-parodi yang bisa membuat kita merasa geli. Naun tentu saja bukan
kegelian dan kekonyolan itu yang ingin Sunlie sampaikan. Parodi juga
sesungguhnya mempertanyakan dan meragukan nilai-nilai yang telah mapan yang
sesungguhnya juga banyak menyimpan hal-hal yang telah terdistorsi oleh pelaku
sejarah dan nilai kebenaran itu sendiri. Sunlie menyitir beberapa teori parodi
semacam Simon Denith, James Wines, G.D Kiremidjan, dan Linda Hutcheon.
Berbekal parodi tersebut plus dengan
realisme magis, Sunlie membaca cerpen-cerpen Sulak. Cerpen tersebut meski
berisi parodi namun tentu digarap secara serius, bukan asal-asalan. Dalam
pembacaan sunlie, Sulak sedang bermain serius dengan teks sejarah, dalam cerita
ini adalah tentang Jan pieterzoon Coen dan Men Wi – nama Men Wi ini dalam bayak
catatan sejarah adalah Men Chi, kurir Kubilai Khan, kisah dalam kitab suci
tentang nabi atau lebih tepatnya penggalan kisah nabi seperti nabi nabi
Ibrahim, Isa, dan jin piaraan nabi Sulaiman. Sunlie kemudian membandingkan
kepiawaian Sulak dengan cerpenis dunia asal Argentina, Jorge Luis Borges.
Sunlie menggunakan istilah yang
disebut intertekstualitas saat membaca buku kumpulan cerpen Raudal Tanjung
Banua yang berjudul Kota-kota Kecil yang
Diangan dan Kujumpai. Keterkaitan atau keterpengaruhan Raudal dalam
cerita-cerita di bukunya tersebut sangat kental dengan buku Invisible Cities karya Italo Calvino
yang begitu deskriptik ketika menarasikan ceritanya. Ini tentu sah saja menurut
Sunlie selama disertai hasrat mengolah teks tersebut secara kreatif dan menjadi
suatu cerita baru yang tentu saja berbeda dengan teks aslinya. Sunlie
menyatakan dengan tegas bahwa Invisible
Cities sendiri adalah hasil intertekstualitas dari buku berjudul The Travel of Marco Polo.
Realisme Magis disandarkan Sunlie
saat membaca novel Surga Sungsang, karya
Triyanto Triwikromo. Membuka paragraf pertama dengan mengutip kritikus sastra
Homi K. Babha tentang Realisme Magis, Sunlie juga mengambil contoh novel The Satanic Verses karya Salman Rusdhie
dan Tripmaster Monkey: His Fake Book
Maxine Hong Kingston, contoh karya di mana “nama-nama suci pun berluruhan ke
ruang profan” sebagaimana disebutkan Homi K. Babha.
Untuk memperkuat Realisme Magis
pembacaan Sunlie pada novel Surga Sunsang,
Sunlie menggunakan referensi dalam buku Ordinary Enchantment; Magical Realism and Remystification of
Narrative Wendy B. Faris. Surga
Sunsang lalu tampil dengan campur aduk antara mitos, legenda, dan cerita
religius yang sungguh menyentak seperti burung bangau yang menyerupai burung
Ababil, akar bakau yang bisa hidup dan membelit manusia, malaikat, dan orang
yang hidup di perut ikan. Pola cerita ini bisa ditemukan juga dalam novel One Hundred Years of Solitude Gabriel
Garcia marquez, sastrawan peraih nobel 1982 yang begitu kuat dilekatkan dengan
Realisme Magis.
Tragic Comedy atau tragedi-komedi,
lebih khusus adalah black comedy dipakai Sunlie untuk membaca novel Lampuki karya sastrawan Aceh, Arafat Nur. Lampuki adalah novel sejarah kelam dan
getir yang terjadi di Aceh selama pemberlakuan DOM (Daerah Operasi Militer),
suatu istilah yang sungguh benar-benar mencekam dan menakutkan bagi masyarakat
Aceh. Lampuki, meski begitu dikemas
dengan nada humor. Ini yang Sunlie tegaskan sebagai black comedy atau black humor,
atau disebut juga dark humour, mengajak
tertawa dan menertawakan yang semestinya tak lucu dan memang bukan lelucon.
Menurut Sunlie, eksploitasi penderitaan
yang tampil dalam karya-karya black
comedy bukan tanpa tujuan, namun lelucon-lelucon itu untuk membangun rasa
simpati dan empati. Dalam Lampuki, hal
tersebut digambarkan cukup detil. Bisa jadi orang di luar Aceh sama sekali tak
tahu dengan peristiwa yang terjadi di sana hingga mereka membaca Lampuki, meski dalam pembacaan Sunlie Lampuki masih lemah dalam memberikan
ruang tafsir karena terlalu fokus pada satu sosok Ahmad dan yang berpusar di
sekelilingnya.
Metafiksi,
demikian Sunlie mengategorikan novel Dawuk:
Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan. Sunlie menggunakan
definisi metafiksi Patricia Waugh. Novel ini menurut Sunlie sedang mengisahkan
dirinya sendiri sebagai fiksi dengan sadar walau sang penulis novel tidak
menceburkan dirinya dalam cerita seperti dalam karya-karya metafiksi lain.
Novel ini bertutur seperti bualan dan gunjingan dengan narator yang cakap dalam
berkisah dan bertutur.
Tak Sekadar Mengisahkan
Sunlie dan Dari Belinyu, tentu tak sekadar mengisahkan buku-buku tersebut, ia
juga melakukan pembacaan dengan perangkat yang dianggap tepat sebagai suatu
kritik terapan pada buku-buku tersebut. Pembacaan Sunlie ini tentu bisa menjadi
suatu model bagi kita saat menilai suatu karya sastra. Pada faktanya, banyak
orang membaca, menulis, dan mengapresiasi suatu karya sastra secara tak tepat dalam
penggunaan perangkat. Ini sesungguhnya ibarat kita akan pergi ke suatu tempat
di sebuah kota tanpa alamat yang tepat, hingga pada akhirnya sering tak sampai
pada tujuan padahal telah harus tersesat ke sana ke mari dalam waktu yang cukup
lama terlebih dahulu, ironis. Akhirnya pembacaan seperti ini memang tak memberi
pemahaman yang baik pada pembaca bagaiamana suatu karya harus dibaca, bahkan
hasilnya terkesan sangat konyol.
Membaca Dari Belinyu, setidaknya telah memberi satu gambaran atau peta yang
cukup jelas namun masih bersifat global – karena bagaimanapun juga begitu
banyak ragam pembacaan, dan masih banyak yang perlu dipelajari oleh banyak
sastrawan Indonesia tentang teori dan kritik sastra – pada pembaca, tinggal
bagaimana dan dari mana pembaca berada ketika ingin memilih dan melalui peta
tersebut. Dari Belinyu, jika itu
adalah peta yang jelas, namun mungkin masih perlu memberi tanda dan rambu yang
lebih sederhana, lebih menukik, namun tetap aplikatif, dan sesungguhnya Sunlie
memiliki kepiawaian untuk itu. Ini penting agar buku semacam Dari Belinyu bisa menjadi referensi yang
mudah dipahami sekaligus berbobot bagi pembaca sastra dan agar sastra Indonesia
bisa lebih diapresiasi oleh banyak pembaca dan kemudian memberi suatu pemahaman
yang lebih dalam menulis dan melahirkan karya sastra. Menulis sastra
bagaimanapun membutuhkan tehnik dan keahlian, latihan yang keras, dan
pembelajaran secara teoretik, bukan sekadar membebek pada sang patron tanpa
siap kemudian dikritik, bahkan kemudian melakukan justifikasi yang apologetik
yang makin menjauhkan dari tradisi ilmiah. Dari
Belinyu telah memberikan peta tersebut.
0 Komentar