Judul: Lelaki yang Ditelan Gerimis
Penulis: Mustafa Ismail
Penebit: Imaji
Cetakan Pertama: Juni 2017
Tebal: 108 hal
ISBN: 978-979-17640-6-3
Buku
yang memuat 13 cerpen ini ditulis seorang sastrawan yang memiliki kemampuan
seimbang antara menulis cerpen, puisi, dan esai sastra. Itu tentu saja tak
mengherankan karena Mustafa Ismail adalah seorang jurnalis yang sehari-hari
bekerja di meja sastra dan budaya salah satu media massa terkemuka tanah air. Meski
ia adalah seorang jurnalis, tapi kita tidak akan merasakan bahwa kumpulan
cerpen dalam buku ini serupa laporan jurnalistik, bahkan kita akan melihat sisi
lain sebuah karya sastra, mengeksplorasi satu tema yang sama namun dengan
kisah-kisah yang berbeda dengan plot yang begitu sangat kuat dan penuh
ketegangan.
Kumpulan
cerpen dalam buku ini semua bermuara dari kejadian di Aceh pada masa Daerah
Operasi Militer (DOM) diberlakukan pada masa orde baru dan masa tak lama setelah
itu, saat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terjadi dan mulai muncul terang-terangan.
Hampir semua cerita mengambil latar tempat di Aceh, mungkin hanya satu cerpen
yang mengambil latar di Jakarta yaitu pada cerpen “Mimpi Tentang Rumah,” namun
meski mengambil latar di luar Aceh tapi fokus konflik tetap bersumber di Aceh.
Hidup dalam Teror
Bisakah
kita membayangkan jika kita hidup dalam sebuah teror bahkan di kampung kita
sendiri. Hidup kita selalu dalam ketakutan yang mencekam. Lebih dari itu, kita bahkan
tak tahu apa esok pagi kita masih bisa menghirup udara pagi atau mungkin tak
ada lagi di dunia ini. Hari ini kita bisa berbincang dengan ibu, ayah, atau
teman kita tapi esok pagi mereka tak lagi kita temui. Sebagian hilang tanpa
mayatnya diketemukan atau sesungguhnya mereka masih hidup tanpa kita tahu di
mana rimbanya. Maut seperti ditentukan oleh sekelompok orang. Kita seperti
benar-benar diintai oleh kematian. Malam kita berubah seperti kegelapan yang
berselimut kematian. Mereka yang ingin selamat akhirnya harus rela meninggalkan
kampung halaman mereka beserta harta benda yang telah mereka cari dengan susah
payah selama bertahun-tahun. Sebagian mereka harus pergi merantau ke Medan,
Jakarta, atau beberapa kota besar lain di negeri kita. Sementara yang masih
bertahan harus siap-siap berkawan dengan kematian.
Jangan
membayangkan hidup penuh teror itu terjadi di Palestina, Suriah, atau di
beberapa negara lain yang tengah mengalami konflik internal. Itu terjadi di
negeri ini, di daerah yang dijuluki “Serambi Mekah.” Konflik bersenjata yang
pernah terjadi antara militer atau TNI yang saat itu masih bernama ABRI dengan
kelompok GAM – meski tak disebut secara eksplisit di buku ini – di provinsi
yang kini bernama Nangroe Aceh Darussalam itu memaksa para warga serasa hidup
dalam teror. Warga sipil yang sesungguhnya tak terlibat apapun mengalami teror
psikologis bahkan fisik yang mengakibatkan trauma berkepanjangan.
Cerpen
“Lelaki yang Ditelan Gerimis” yang kemudian diambil untuk judul buku ini
mempertegas bahwa kematian memang benar-benar mengintai dan terjadi dalam waktu
yang begitu singkat. Suman sesungguhnya warga sipil yang aktif di LSM dan
kegiatan sosial kemanusiaan. Suman berjumpa dan berbincang dengan temannya pada
suatu malam di Rex yang terletak di jantung kota Banda Aceh. Suman lalu berpamitan
ketika gerimis jatuh. Esok paginya mayat Suman ditemukan dan diberitakan di
koran dalam keadaan membusuk di tengah sawah dengan tiga butir peluru di
tubuhnya. Peluru yang bersarang tersebut tentu sesungguhnya isyarat jelas siapa
pelaku pembunuhan terhadap Suman. Ini sangat bermuatan politis, bukan
kriminalitas yang kadang bisa terjadi di kota besar.
Kehadiran
Cuak atau mata-mata semakin menambah
rasa mencekam. Mata-mata yang bisa saja bekerja pada militer atau kelompok GAM
ini bisa juga berpihak pada kedua kelompok yang berkonflik. Yang mengerikan
jika cuak ini hanya sekadar melakukan
fitnah yang membuat orang lain kemudian menjadi korban dan menemui kematian
seperti yang terjadi dalam dialog di cerpen berjudul “Rex” saat Raman
dberitakan koran meninggal dengan dua peluru bersarang di tubuhnya. Cuak ini semakin membuka mata kita yang
tinggal di luar Aceh betapa ternyata konflik yang terjadi di sana serasa mereka
masih hidup dalam masa penjajahan dan perang gerilya. Ini sungguh ironis dan
susah untuk bisa dipercaya jika kita sekadar mendengar cerita atau dongeng dari
sembarang orang, tapi saat kita membaca buku ini, tak urung kita juga akan
tetap mengeningkan kerut sambil melontarkan begitu banyak pertanyaan di hati
dan pikiran kita. Suman, Raman, dan masih banyak orang lagi bernasib tragis
seperti mereka.
Suasana
batin penuh teror tersebut bahkan tetap terasa bagi mereka yang telah
meninggalkan Aceh dan merantau ke kota lain. Kita bisa merasakan suasana batin
yang mencekam dan penuh ketakutan ini di cerpen “Lelaki Asing.” Rahmad, seorang
mantan aktivis mahasiswa Aceh yang kemudian mengungsi dan tinggal di Jogja
sedang dalam perjalanan pulang ke kampung. Dalam bus yang jaraknya masih
terbentang ribuan kilometer dari Aceh tersebut Rahmad mengalami teror batin
saat bertemu dan duduk di bangku yang sama dengan seorang lelaki bernama Ramli.
Si lelaki asing banyak bertanya yang membuat Rahmad seperti diinterogasi. Rahmad
berpikir bahwa lelaki itu pastilah bagian dari kelompok bersenjata yang sedang
berkonflik. Ketakutan Rahmad tersebut membuatnya harus turun dan berganti bus
padahal bus masih berada di daerah Lampung, suatu tempat yang masih sangat jauh
dari Aceh, setidaknya masih butuh dua hari dua malam. Setelah Rahmad tiba di
Aceh, sungguh suatu hal yang tak disangka terjadi, ia berjumpa kembali dengan
lelaki yang bersamanya di bus tersebut. Ternyata lelaki itu adalah bukan
seperti apa yang ada di benak Rahmad. Kita bisa melihat rasa traumatik yang
besar di batin Rahmad, tentu ini sangat bisa dipahami karena Rahmad hidup dalam
suasana dan ingatan yang sangat kental dengan peristiwa-peristiwa tragis yang
kemudian terbawa saat ia merantau.
Sebagian
cerpen dalam buku ini pernah disiarkan dalam beberapa media massa terkemuka di
tanah air yang dikenal dengan seleksi yang begitu ketat. Tentu ini menunjukkan
kualitas cerpen-cerpen dalam buku ini sehingga layak dimuat di surat kabar.
Selain itu mengangkat tema yang seragam dalam 13 cerpen bukan perkara yang
mudah. Kejelian dan kepekaan menampilkan sudut pandang dan kemampuan memperkuat
plot menjadi tantangan tersendiri. Tanpa kemampuan mengemas cerita dengan baik
tentu cerpen-cerpen akan begitu sangat membosankan. Buku ini mampu menyajikan
semua cerita dengan menarik bahkan mampu membuat ilustrasi yang begitu
deskriptif tanpa kehilangan daya imajinatif sehingga kita seperti tidak sedang
membaca laporan jurnalistik, justru jauh dari kesan tersebut. Setiap peristiwa
yang kadang diceritakan begitu detil sesungguhnya semakin mengajak imajinasi
kita menuju dan menyaksikan teror-teror tersebut, hingga batin dan pikiran kita
bisa benar-benar terguncang.
Hanya
saja eksplorasi tentang siapa yang sedang berkonflik dalam setiap cerita memang
belum cukup tajam. Ilustrasi tentang kelompok bersenjata yang menjadi konflik
utama yang diangkat dalam 13 cerpen ini masih begitu buram. Memang ada isyarat
dan petunjuk tentang itu hingga pembaca sangat mungkin dan memang mau tak mau
mengarah pada satu tujuan bahwa mereka yang berkonflik adalah militer dan GAM.
Namun secara umum yang kita tangkap kemudian adalah hanya berupa cipratan kisah
yang dikemas dengan menarik namun sesungguhnya hanya dramatisasi. Hal ini cukup
bisa mengganggu bagi pembaca yang berasal dari luar Aceh dan tak mengalami atau
menyaksikan konflik tersebut. Pembaca serasa disajikan dengan kisah drama,
drama yang benar-benar mencekam. Bisa jadi ini adalah kesengajaan yang memang
diinginkan penulis, bagaimanapun cerpen, meski itu cerpen yang paling realis
pun, tetap berbeda dengan kisah nyata atau reportase.
Buku
ini bisa menjadi pelajaran kita semua bahwa ternyata konflik yang terjadi Aceh
adalah persoalan kita bersama sebagai suatu bangsa, sehingga jangan sampai
terjadi di daerah lain. Selain tentu saja sesungguhnya dalam perspektif sastra kita
bisa membacanya dengan apa yang disebut ISA’s (Ideology State Aparatuses) yang
dikenalkan dan digunakan oleh kritikus dan filsuf Louis Althusser. Menurut
Althusser bahwa militer adalah alat ideologi yang represif yang digunakan suatu
rezim untuk mempertahankan kekuasaannya. Persoalan Aceh tentu bersifat
ideologis dan politis yang tidak serta merta terjadi. Bagaimana suatu alat
negara atau aparat bertindak atas nama suatu ideologi dan kekuasaan sangat bisa
terbaca di sini. Apa yang disebut suprastruktur dan bagaimana itu bekerja, bisa
menjadi suatu pelajaran berharga bagi kita semua, sastra sesungguhnya juga
memiliki kemampuan untuk mengintroduksi, menganalisis, dan memberi perspektif
bagi banyak orang untuk membaca dan menyikapi, serta mengantisipasi suatu
peristiwa politis. Bagi warga Aceh sendiri, tentu buku ini bisa menjadi rekaman
kolektif yang bisa diputar atau dibaca sewaktu-waktu. Pada akhirnya bisa
menjadi ucapan rasa syukur bagi generasi berikutnya bahwa mereka tidak hidup
dan mengalami suatu masa yang penuh teror.
Tulisan
ini pernah disiarkan Harian Bhirawa, 02 Agustus, 2017
0 Komentar