“Poetry, like life, is one thing...Essentially a continuous of subtance or energy, poetry is  historically a connected movement, a series of successive integrated manifestasions...” (I.A. Richards)

 

Perkataan di atas saya kutip dalam buku Principles of Literary Criticsm karya I.A. Richards pada sub judul yang ketiga, “The Language of Criticsm”. Richards seakan sedang mengukuhkan betapa sesungguhnya puisi adalah suatu hal yang ditulis dengan suatu idea yang besar seakan kehidupan itu sendiri dan sesungguhnya Richards adalah seorang penganjur bahkan penerus T.S. Eliot dengan suatu madzhab yang disebut Practical Criticsm, suatu aliran yang menekankan pembacaan suatu teks yang bersifat tertutup. Mungkin ini terkesan bombastis. Anda juga tentu memiliki pandangan sendiri ketika sedang mendudukkan puisi dalam kehidupan anda sendiri. Tapi sebagai sesuatu bentuk tulisan dan teks yang hidup, maka suka atau tak suka puisi yang kita tulis adalah refleksi dan letupan yang memiliki satu sisi atau bagian besar yang menggambarkan tentang diri kita baik secara fisik, subtansi, idea, energi, dan tentu imaginasi sebagai penyair yang kemudian berdiri sendiri.

Kita bisa saja melepaskan antara hubungan penyair dan puisinya, dan biarkan saja teks yang bicara. Ini hanya sebuah cara sebagaimana yang dilakukan para penganut strukturalisme, berpijak pada teks. Ini cara yang elegan saat kita bicara karya. Puisi yang ditulis sesungguhnya sebuah narasi yang membawa suatu pesan dan nilai yang kemudian bisa dibaca dan dikritik.

Pembacaan atau kritik pada puisi tentu tak bisa dilakukan secara sembarangan, meski kita yakin bahwa seorang yang telah menasbihkan dirinya sebagai kritikus tentu telah melakukan pembacaan secara kritis dan ilmiah.

Seorang kritikus tentu saja telah khatam membaca buku Richards tersebut yang berbicara tentang prinsip-prinsip kritik sastra. Richards setidaknya menulis 35 sub judul tulisan yang bisa menjadi panduan seorang kritikus, meski pada praktiknya seorang kritikus ternyata sering mengabaikan prinsip-prinsip tersebut karena lebih mengedepankan arogansi intelektual dengan berpedoman dan berkedok pada referensi ilmiah yang telah dipolitisir.

Politisasi kritik atas puisi yang dilakukan oleh sebagian kritikus di negeri kita sesungguhnya bisa diidentifikasi. Ada beberapa indikator yang bisa kita lihat dengan gamblang meski sekali lagi, sang kritikus berdalih dengan referensi-referensi dan dalil teoretik dan ilmiah. Saya tentu tak ingin mengatakan bahwa prinsip ilmiah itu salah, tetapi lebih pada aplikasi teoretik itu tak begitu tepat untuk melakukan pembacaan dan penilaian pada puisi karena disebabkan sikap dan integritas kritikus, meski sesungguhnya ini juga bukan penilaian yang bijaksana.

Mari kita perhatikan dengan lebih jeli saat kita membaca ulasan atau kritik yang dilakukan oleh sebagian kritikus negeri ini. Terlihat sekali hasilnya bahwa dalil ilmiah yang dipakai seolah hanya untuk membunuh atau memuji. Saya tentu sangat percaya jika mereka yang telah mencapai derajat kritikus itu adalah sosok yang cerdas, tapi kejelian dan ketepatan untuk benar-benar mampu membedah suatu teks dengan baik sesungguhnya masih membutuhkan suatu keahlian tersendiri. Puisi adalah energi, spirit, dan juga pendalaman batin, dan teks atau kata-kata adalah manifestasinya, jadi kita tetap harus mampu menyelam ke dalam dengan memahami benar-benar dengan rasa dan spirit juga. Ini membutuhkan dialektika batin dan pikiran agar terdapat sinergis. Persoalan kritik sesungguhnya tidak semata persoalan tafsir tekstual yang kaku atau bahkan bebas, tapi seberapa efisien sebuah pembacaan hingga terlihat dengan jelas seberapa kuat kedudukan puisi tersebut dalam berbagai aspeknya. Teks tidak bisa kemudian digeneralisir sementara kita belum melakukan pembedahan secara sistematis dengan melihatnya sebagai sebuah struktur. Ketelitian ini sesungguhnya bisa membuat satu puisi akan tampak lebih hebat dan begitu bermakna bagi seorang kritikus, meski seorang kritikus juga tak perlu berboros-boros dengan perangkat teoretiknya. Satu perangkat yang tepat dan efisisen tentu lebih memiliki daya bobot yang tinggi ketimbang puluhan perangkat yang hanya dipakai sebagai sebuah pembacaan dan penilaian yang bersifat dekoratif bahkan politis hanya untuk mengedepankan arogansi intelektual. Untuk menggunakan satu perangkat yang efisien ini tentu perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu.

Sebagaimana puisi yang telah mengalami proses di ruang dalam dan tersembunyi dalam diri sang penyair sebelum akhirnya lahir dan menjadi milik publik, maka begitu pula sang kritikus menguji suatu puisi, dalam suatu ruang khusus sebelum ia memutuskan melahirkan pembacaannya ke ruang publik. Ini penting agar sang kritikus tak terlihat gagap, terlebih kritikus harus mampu menjadikan kritiknya sebagai pembelajaran bagi penyair dan publik. Integritas pembacaan oleh sang kritikus sesungguhnya harus dikedepankan sebab yang sering terjadi kemudian adalah justru sebuah ketegangan dan seakan permusuhan antara penyair dan kritikus. Banyak penyair seakan tak membutuhkan kritikus padahal sesungguhnya kritikus memiliki satu posisi yang memungkinkan sebuah puisi sebagai teks bisa benar-benar hidup dan menjadi kanon. Sikap alergi atau antipati pada kritikus ini tentu bisa dimengerti. Kritikus juga harus benar-benar menghargai puisi, sebab sangat banyak kritikus membaca puisi hanya sebagai suatu upaya yang berbau politis, meneguhkan eksistensinya di mata khalayak dengan arogansi intelektual tersebut. Sikap ini sesungguhnya hal yang mengerikan karena yang terjadi kemudian justru ketegangan yang melebar yang melibatkan banyak orang yang saling dukung baik di kalangan penyair atau pihak sang kritikus, suatu hal kekanak-kanakan yang sama sekali sangat tidak mendidik, terlebih ruang atau media yang digunakan sering juga tidak tepat.

Kita tentu harus kembali bercermin pada kritikus masa lalu semisal H.B. Jassin dan Subagyo Sastrowardoyo misalnya. Kalaupun ada ketegangan yang muncul adalah sikap dewasa yang tetap mau belajar. Sikap yang sangat menjaga integritas yang bisa menjadikan sebuah perdebatan adalah suatu pembelajaran bagi publik.

Kritikus yang kita saksikan dewasa ini, terlebih dari generasi muda dan jumlahnya begitu sedikit seakan-akan sedang berteriak-teriak melakukan provokasi pada publik dan di tangannya membawa palu godam yang memukul-mukul rumah para penyair yang sesungguhnya telah memiliki kedudukan mapan di mata sang kritikus. Istilah palu godam ini adalah istilah yang saya ambil dari rekan Chavchay Saifullah dalam suatu obrolan panjang tentang perkembangan sastra tanah air. Di ujung lain para penyair hanya menganggap teriakan dan palu godam di tangan kritikus tersebut adalah serupa mainan yang justru disikapi dengan rasa beragam. Ada yang tertawa, ada yang tak peduli, ada yang sensi, ada juga yang melawan dengan membangun opini. Suatu preseden yang makin menciptakan ketegangan untuk perkembangan dunia sastra tanah air.

Sesungguhnya palu godam itu cukup kuat dan tentu saja memiliki daya pukul yang dahsyat. Hanya sang pembawa palu godam sering sekali menggunakannya dengan main hantam semaunya karena merasa memiliki energi dan vitamin yang kuat. Ia hantam para penyair yang bisa meneguhkan eksistensinya. Terlebih lagi palu godam tersebut digunakan untuk memukul semua bagian dari sebuah bangunan. Akan lebih baik jika memukul bagian yang yang memang rusak dan tak berguna sehingga keindahan bangunan tersebut tetap terjaga. Suatu ketika tentu kita berharap sang pembawa palu godam yang kuat tersebut meletakkan palu godamnya dan membawa juga semen dan cat atau alat lain yang bisa memperindah bangunan.   

 

Esei ini pernah disiarkan di Lampung Pos