Bardi menatap
kembali foto masa kecilnya bersama Jodi yang ia pajang di meja ruang tamunya.
Ia tak pernah lagi bertemu sahabatnya itu sejak kejadian kecelakaan sepeda
motor yang dialami mereka berdua belasan tahun lalu ketika mereka akan naik
kelas enam SD. Jodi seperti raib ditelan bumi. Bardi telah berusaha mencari informasi
tentang sahabatnya itu lewat dunia maya, barangkali Jodi memiliki FB, Twitter
atau sejenisnya tapi ia tak menemukan di situ tertera nama Jodi Satria. Pernah
dulu ia tanyakan pada keluarga Jodi sebelum mereka pindah rumah ke kota Tegal. Cerita
mereka Jodi telah pindah sekolah lebih dulu sebelum akhirnya keluarga mereka
menyusul pindah tak lama setelah
itu. Itu terjadi saat Bardi masih di bangku kelas enam SD, ketika Bardi baru
sembuh dan pulang dari rumah sakit akibat kecelakaan sepeda motor.
Keluarga Bardi sendiri pindah rumah ke Bekasi sejak
ia lulus SD, setahun persis sejak kepindahan Jodi. Bardi bersahabat dengan Jodi
semenjak dari kelas satu hingga kelas lima SD. Rumah mereka lumayan saling
berjauhan, hampir dua kilometer jaraknya. Biar begitu mereka sering
menghabiskan waktu bersama baik di sekolah atau setelah pulang sekolah.
Kebetulan mereka belajar di sekolah yang sama di kota Tangerang.
Di mata Bardi, Jodi adalah sahabat sejati. Dia
seorang pemberani dan memiliki rasa pengorbanan yang tinggi pada sahabat. Suatu
ketika Bardi pernah berkelahi dengan Darius yang badannya besar dan jagoan
kelas. Meski Bardi agak takut, ia berani melawan Darius karena Darius telah
mempermalukannya di depan Indah, teman perempuan satu kelas yang Bardi sukai.
Bardi bisa mengalahkan Darius ketika itu, tetapi teman-teman Darius turut
mengeroyoknya. Tentu Bardi kewalahan menghadapi Darius dan empat temannya. Lalu
muncul Jodi dengan keberanian yang luar biasa membantu Bardi. Darius dan
teman-temannya kocar-kacir dan lari tunggang-langgang karena amukan Jodi. Tetapi
gara-gara kejadian tersebut, Bardi dan Jodi dimarahi habis-habisan oleh
orang tua mereka berdua karena orang tua mereka dipanggil oleh kepala sekolah.
***
Bardi kesal, tapi ia mencoba tetap bersabar. Dia
berkali-kali menghubungi Anisa, tetapi kekasihnya itu tak mengangkat telpon
darinya. Bahkan pesan yang ia kirimkan pun tak mendapat balasan. Ia ke
kontrakan Anisa kemarin sepulang kerja. Bahkan ia pulang lebih awal. Bardi tak
konsentrasi kerja karena ia tak mendapati Anisa di restoran saat makan siang,
begitu juga hari ini. Anisa tak ia temui di restoran. Ketika Bardi tanyakan pada teman-teman
kontrakan Anisa, mereka pun
tak tahu kemana Anisa pergi. Dita, tetangga kamarnya hanya mengatakan jika
Anisa sempat pulang ke kontrakan tadi malam, tapi ia pergi lagi tak lama
kemudian.
Sungguh Bardi heran, tak ada sebab dan alasan
mengapa Anisa bersikap seperti itu. Bardi sudah berpacaran dengan Anisa hampir
satu tahun. Ia benar-benar serius berpacaran dengan Anisa. Bahkan ia berencana
akan pulang ke Bekasi lebaran ini dan akan mengajak orang tuanya melamar Anisa.
Anisa juga sudah tahu dan menyambut baik rencana itu.
Ia mengenal Anisa satu bulan sejak ia mendapat
promosi sebagai manager di sebuah perusahaan BUMN dan ditugaskan di Semarang.
Sejak mengenal Anisa yang bekerja sebagai kasir restoran yang tak jauh dari
kantornya, Bardi merasa tertarik padanya. Bardi memang biasa makan siang di
restoran itu. Butuh waktu tiga bulan
Bardi bisa menjadikan Anisa kekasihnya, itu setelah pengamatan dan pendekatan
yang cukup intens.
Hampir satu tahun berpacaran, baru dua hari lalu
Bardi bisa mengajak Anisa berkunjung ke rumahnya. Itu karena Bardi libur pada
akhir pekan, sementara Anisa justru tak diperbolehkan libur kerja pada akhir
pekan karena restoran
sedang ramai pengunjung. Anisa diperkenankan libur kerja pada hari biasa.
Hari Rabu
kemarin, Bardi tak berangkat kerja. Sesekali bolos kerja tak apalah, pikirnya.
Ia ingin menghabiskan waktu bersama Anisa yang kebetulan libur hari itu. Bardi
membayangkan sebuah hari yang indah dan menyenangkan bersama Anisa di rumahnya.
Bahkan ia membayangkan masakan Anisa yang selezat makanan di restoran tempat kerjanya. Tapi
semuanya berantakan tanpa sebab yang jelas. Bardi hanya ingat ketika mereka
duduk di ruang tamu sebentar, dan sempat Anisa bertanya tentang foto berbingkai
yang terpajang di meja ruang tamu.
“Ini foto siapa,
Mas?” Tanya Anisa.
“Ini foto Mas
Bardi dengan Jodi, Jodi Satria sahabat mas waktu kecil,” jawab Bardi. Bardi
sempat melihat keterkejutan di wajah Anisa, dan entah kenapa Anisa ngotot minta
pulang ke kontrakan setelah itu. Bardi mencoba menahan dia dan bertanya ada apa
gerangan. Ia kekeuh ingin pulang.
Bardi akhirnya mengantarkannya juga dengan sedikit kesal yang tertahankan dalam
hati. Sesampai di kontrakan Anisa ingin Bardi meninggalkan ia sendirian.
“Nisa, Mas
sengaja bolos kerja hari ini agar Mas
bisa menghabiskan waktu bersama Anisa. Kenapa Anisa justru bersikap seperti
ini?”
“Mas, mohon Mas
Bardi pulang. Anisa ingin
sendiri. Tolong biarkan Anisa sendiri.” Pintanya
dengan sangat. Bardi tak bisa memaksa situasi
yang meurutnya aneh tersebut kecuali akhirnya ia pulang ke rumah dengan
perasaan sangat kesal.
***
Dengan berkendara sendirian, Bardi menuju Tegal.
Menurut cerita Dita, Anisa kemarin menghubungi Dita dan mengatakan jika ia
sedang pulang kampung dan meninggalkan alamat rumahnya di Tegal pada Dita.
Hanya beberapa jam, Bardi telah sampai dan tanpa kesulitan ia menemukan alamat
Anisa.
Betapa Bardi terkejut dan bercampur bahagia ketika
ia tiba di rumah Anisa. Ia masih ingat betul wajah kedua orang tua yang
menyambutnya di depan pintu rumah.
“Pak Baroto dan Bu
Diah…!” Pekik Bardi sambil sungkem pada mereka.
“Jadi Anisa itu adalah Ninis?” Lanjut Bardi masih
dengan penuh keterkejutan dan kegirangan.
“Lalu bagaimana kabar Jodi, Bu?” Kejar Bardi.
Setelah hening sejenak, pak Baroto kemudian bercerita panjang lebar. Sungguh
cerita itu bagaikan petir di siang bolong yang membuat Bardi lemas dan seakan
tak percaya. Ia merasa kesal pada orang tuanya yang juga telah membohonginya
selama ini. Setelah Bardi bisa menguasai dirinya, ia berucap lirih.
“Saya benar-benar minta maaf dan merasa berdosa pada
Bapak, Ibu dan juga Ninis. Saya
sungguh tidak tahu kejadiannya seperti itu.”
“Semua sudah terjadi Nak Didi. Bapak dan Ibu sudah mengikhlaskan
itu. Kami pun sebenarnya terkejut ketika kemarin Ninis pulang dan bercerita
tentang Nak Didi.” Giliran ibu
Ninis berkata dan memanggil nama kecil
Jodi.
“Anisa juga tidak tahu jika Mas Bardi itu adalah Mas Didi,” suara Anisa
menimpali.
***
“Ayah dan Ibu
sungguh keterlaluan. Kenapa Ayah
dan Ibu menutupi hal ini
hingga belasan tahun dan Bardi hidup tanpa ketidaktahuan?” tanya Bardi menahan
emosi. Bagaimanapun ia sadar sedang berbicara pada orang tuanya yang begitu ia
hormati dan ia banggakan.
“Waktu itu kau masih kecil. Dan kami tak bermaksud
menyembunyikan ini selamanya. Pada saatnya nanti kami pasti ceritakan. Tapi
sungguh tak diduga jika Anisa itu adalah Ninis. Ini benar-benar suatu keajaiban
dan kebesaran dari Allah. Meski dulu ayah dan ibu telah meminta maaf pada pak
Baroto dan bu Diah atas kejadian itu, ada baiknya jika kita kembali meminta
maaf lagi pada beliau. Bukan begitu, Bu?”
Tanya Pak Prawiro sambil
menatap istrinya.
“Tentu Pak,
kita harus menemui mereka setelah lama kita juga kehilangan kontak. Sungguh
Allah maha besar mempertemukan kita kembali, bahkan kita dipersatukan dalam
ikatan keluarga.”
Ibu Prawiro berkata
begitu sambil menatapi dan mengelus-elus kepala Bardi yang serasa seperti masih
anak kecil.
***
Setelah Pak
Baroto, Bu Diah, Anisa
Sekarwulan alias Ninis, ayah dan ibu Bardi selesai berdoa bersama dan
meninggalkan area pemakaman di kota kelahiran Bardi yang telah lama ia
tinggalkan, Bardi meminta waktu sejenak untuk tetap di depan pusara sahabat
masa kecilnya.
“Aku minta maaf padamu atas ketidaktahuanku selama
ini Jod. Jika dulu kau selalu membelaku, maka kini aku siap menjadi pelindung dan
pembela Ninis dan keluargamu. Aku doakan kau bahagia di sana. Selamat jalan
sobat.”
Didi alias Subardi Bakti Prawiro S.E. M.M berjanji dalam hatinya untuk menebus
kesalahannya di masa lalu. Lima belas tahun lalu orang tuanya telah melarangnya
untuk mengendarai sepeda motor, itu tak baik untuk anak yang baru naik kelas enam
SD. Bardi nekad dan tanpa izin
mengambil kunci sepeda motor milik orang tuanya. Ia berkendara motor dengan
Jodi Satria hingga ke jalan
raya. Malang sebuah truk menyerempet mereka. Truk itu lalu melarikan diri tanpa
diketahui identitasnya. Bardi tak sadarkan diri dan hampir tiga minggu dirawat
di rumah sakit. Saat itu sedang
liburan kenaikan kelas. Atas kesepakatan para orang tua dan pihak sekolah
kejadian yang menyebabkan Jodi Satria meninggal dunia itu dirahasiakan dengan
rapi. Pantaslah orang tua Bardi selalu melarang Bardi naik motor setelah
kejadian itu, Bardi pun tak membantah karena ia juga sedikit trauma. Bardi
diperbolehkan mengendarai motor lagi setelah lulus SMA dan tentu saja setelah
memiliki SIM.*
0 Komentar