Judul : Orang Jawa di Suriname
Genre: Puisi
Penulis: Iman
Sembada
Penerbit: Jeda
Cetakan pertama:
April 2019
Tebal: 67+v hal
ISBN:
978-602-489-374-3
Ruang Hilang Masyarakat Urban
Pertumbuhan
penduduk yang luarbiasa cepat negeri kita, khususnya yang terjadi di kota besar
ditambah dengan arus urbanisasi menjadi masalah tersendiri bagi masyarakat.
salah satu imbasnya adalah, kaum urban tak memiliki ruang yang cukup untuk
melakukan banyak aktivitas. Secara umum mereka tinggal di rumah-rumah yang
sempit dan padat penduduk. Rumah mereka tak memiliki halaman bahkan banyak
pemukiman tak memiliki akses jalan yang cukup untuk dilewati satu kendaraan
roda empat. Lebih parah lagi banyak ruang terbuka untuk publik telah hilang
seperti lapangan bermain bola atau tanah lapang, taman bermain, atau ruang
hijau dengan banyak pepohonan rindang.
Ruang-ruang yang hilang di
masyarakat urban tersebut menjadi keresahan sekaligus kesadaran yang kemudian
menjelma puisi-puisi dalam buku Orang
Jawa di Suriname (OJS). Setidaknya ada 18 puisi dari 66 puisi yang
benar-benar memakai kata ruang sebagai judul dan mencoba memaknai ruang-ruang
tersebut, serta beberapa puisi lain pun menggunakan kata-kata ruang sebagai kesadaran
utama yang ingin dibangun. Puisi-puisi lain – yang sebenarnya berbicara
persoalan umum manusia, alam, dan masyarakat – juga pada akhirnya mau tak mau terasosiasi pada
kesadaran utama yang menjadi perhatian sang penyarir. Ini sangat mungkin karena
sang penyair memang sedang mengalami momentum puitik akan ruang yang ia
renungkan dan kesadaran puncak karena hilangnya ruang-ruang tersebut.
Mungkin tema tentang ruang bukan
suatu hal yang istimewa bagi masyarakat urban karena banyak mereka memang
mengalami hal serupa, hilangnya ruang untuk melakukan aktivitas fisik seperti
bermain dengan keluarga sambil berlari-lari di dalam rumah dan sekitarnya, atau
bingung sekadar menaruh barang-barang atau kendaraan, lalu menjadi hal yang
biasa karena konsekuensi hidup menjadi masyarakat urban. Menjadi istimewa
karena kemudian Iman tak sekadar memaknai itu secara fungsional namun juga
eksistensial dalam kerangka yang lebih luas sebagai seorang manusia yang hidup
sebagai mahluk sosial. Bagaimanapun juga puisi bukanlah sekadar ekspresi namun
bahasa komunikasi yang penuh pesan dan simbol yang kemudian bisa
direinterpretasi oleh pembaca.
Awalnya kita bisa saja terkecoh
dengan judul buku ini, itu wajar. Judul buku ini hanya diambil dari salah satu
judul puisi di dalamnya. Setelah kita membaca lebih dalam dan teliti,
sesungguhnya tema dan kesadaran utama buku ini tentang ruang-ruang tersebut. Ruang-ruang
yang telah hilang dan diberangus oleh banyak faktor; sosial, ekonomi, politik,
kemanusian, dan peradaban. Ruang yang kemudian menjadi sekat dan mengikis
kesadaran kemanusiaan untuk membuka ruang nurani dan pikiran mereka akan banyak
masalah kehidupan.
Tak ada lagi tanah lapang
Anak-anak rindu bermain
layang-layang
Lalu kau kibarkan bendera lusuh
Di jantung kota yang rapuh
Angin tak henti mencangkul trotoar
Menghela peradaban mesin-mesin yang
hingar
Orang-oang kalah dan gelandangan
Diperdaya gambar-gambar iklan
(penggalan puisi “Kota yang Rapuh,
hal 1)
Puisi
pertama membuka kesadaran deduktif tentang ruang terbuka yang hilang bagi
masyarakat urban. Industri dan kapitalisasi atas nama peradaban yang ditandai
dengan mesin-mesin menjadi faktor utama yang tak terelakkan. Gambar-gambar
iklan telah menciptakan masyarakat marjinal, konsumtif, dan terpedaya. Orang-orang
kalah di sini tentu saja bukan hanya mereka yang papa saja, namun sangat
mungkin mereka adalah yang mampu secara ekonomi namun menjadi konsumtif dan
terpedaya iklan-iklan yang sering kita tonton. Ini sesungguhnya masalah besar
bagi bangsa besar dengan semua lapisan masyarakatnya, namun menjadi pasar empuk
kaum atau negara industri dan kapitalis – bisa saja justru dari bangsa sendiri – yang
menguasai negeri ini.
Kita
bisa menyaksikan fenomena ini di pusat-pusat kota di negeri kita. Dominasi
produk dan iklan telah menciptakan kaum kalah. Jantung kota yang kita anggap
sebagai pusat peradaban justru telah menjadi rapuh dan tak kuat menahan
gempuran kapitalisasi. Ruang-ruang telah menjadi barang yang sangat mahal. Kita
bisa memasuki ruang-ruang di tengah kota, namun kita menjadi kalah dan
konsumtif di sana, suatu harga yang tak mungkin bisa dijangkau oleh kaum bawah.
Mall, pertokoan, kafe, restaurant, tanah lapang yang menjelma stadion yang
hanya bisa dinikmati kalangan tertentu – dan tentu saja tak bisa untuk bermain
layang-layang – adalah iklan yang mempedayakan.
Ruang, Modernisasi dan Peradaban
Makhluk,
baik hidup atau tak hidup membutuhkan ruang. Sejauh mana ruang berfungsi dengan
baik atau tidak, ternyata bukan persoalan sederhana yang dipikirkan banyak
orang. Modernisasi dan peradaban manusia memberi pengaruh besar pada fungsi
ruang tersebut. Pemikiran manusia yang berkembang pesat telah membuat
ruang-ruang tersebut begitu fenomenal, fungsional, eksistensial, atau paradoksal
yang mampu diidentifikasi dan membuat suatu diferensiasi antara satu kaum atau
bangsa dengan bangsa yang lain dalam hal pemikiran, kebudayaan, peradaban, dan
ilmu pengetahuan serta tekhnologi.
Modernisasi sering dipandang secara
sempit sebagai proses pembangunan fisik dan material suatu desa, kota, atau
negara. Tentu saja bukan sekadar itu, karena pada faktanya, pembangunan semacam
itu akan mengakibatkan bermacam masalah sosial seperti kesenjangan, penggusuran,
pengangguran, atau ketiadaan ruang karena telah berganti fungsi dan peran, dan
masih banyak lagi.
Kita nikmati detik-detik jam
Sebagai instrumentalia kehidupan
Tanpa keluhan dan kutukan
Di ruang depan
Tanda-tanda diterjemahkan
Memaknai peradaban zaman
(Bait terakhir puisi Ruang Depan,
hal 11)
Bait di atas adalah suatu isyarat
bahwa di ruang depan banyak tanda sedang diterjemahkan. Tanda-tanda tersebut
adalah bagian dari apa yang kita sebut peradaban. Kebudayaan luar yang datang
dan sedang gencar melakukan penetrasi nilai dan gaya hidup dengan segala
superioritasnya, kapitalisasi dan industrialisasi produk dan jasa dengan iklan
gemerlapnya yang menenggelamkan jati diri kita hingga menjadi orang kalah dan
konsumtif, ruang-ruang yang dialihfungsikan dan menciptakan orang-orang
marjinal. Kita melihat semua itu sedang terjadi di ruang depan dan pemaknaan
kita terhadap laju peradaban tersebut sesungguhnya telah bisa kita ketahui dari
isyarat-isyarat sebelumnya.
Fenomena-fenomena yang terjadi di
ruang depan terjadi dengan begitu pesat. Pada akhirnya arus modernisasi akan
menggerus ruang depan dan mengubahnya menjadi sesuatu yang mungkin tak mampu
kita elakkan. Kita mungkin masih bisa menikmati hidup dan waktu kita, detik-detik
jam, dan atau romantisme tanpa mengeluh dan mengetuk karena semua tersebut
adalah instrumentalia kehidupan. Namun kembali lagi, jika kita melihat apa yang
terjadi di ruang depan, kita harus siap terhadap konsekuensinya, suatu harga
mahal yang harus kita bayar.
Kamu tidak hanya satu. Jumlahnya
lebih
Dari
seribu. Subuh dan pagi masih jauh
Orang-orang
kecil yang diremehkan
Suaramu
menggedor-gedor tembok angkuh
Kota
metropolitan. Angin berkesiur ke kali bau bacin
Yang
airnya hitam, mengalir lamban lantaran
Tersendat-sendat
oleh sampah-sampah peradaban
(penggalan
puisi Suara dari Seberang Jalan, hal 47)
Dari ruang depan, kita telah
menyaksikan peristiwa dan fenomena yang terjadi. Dari situ juga kita bisa
mendengar “Suara dari Seberang Jalan”. Suatu fenomena yang cukup mengerikan
sebagai suatu konsekuensi dari peradaban, sampah. Bau bacin kali yang airnya
hitam dan lamban mengalir, orang-orang kecil yang diremehkan dalam jumlah
ribuan, tembok-tembok angkuh yang kemudian sesungguhnya sedang mengikis nilai
dan rasa kemanusiaan kita. Konsekuensi ini sesungguhnya telah membuat implikasi
yang jauh lebih mengerikan secara psikologis dan sosiologis, juga ideologis. Teks
tak sekadar persoalan interpretasi tapi memang membuka lapisan-lapisan lain
yang jauh lebih banyak untuk dieksplorasi.
Orang-orang memasuki ruang tunggu
Yang lain. Kipas angin berputar
gemetaran
Kita tiba-tiba merasa akan keasingan
Pikiran kita membimbang, kali
kesekian hati meragu
Setiap saat kita terjebak kesibukan
kota
Menerawang gelisah pada kaca-kaca
Mata kita saling bertatapan
Tapi tak menemu pelabuhan
(penggalan puisi Ruang Tunggu yang
Lain, hal 28)
Modernisasi
dan peradaban berdampak tak hanya pada mereka orang-orang yang kalah dan
marjinal, tapi berpengaruh juga pada psikologis masyarakat secara umum dan
keseluruhan di wilayah-wilayah urban. Kita bisa menyaksikan fenomena tersebut
di ruang tunggu. “Ruang Tunggu yang Lain” hanya semacam afirmasi bahwa di ruang
tunggu, di tempat yang berbeda menyajikan kondisi psikologis yang sama;
keasingan, pikiran yang membimbang, dan hati yang meragu. Potret ini begitu realistis
bagi masyarakat urban, kesenjangan yang begitu kentara. Suasana ruang tunggu
yang lain tersebut semakin terasa asing dan bimbang dengan ilustrasi kipas
angin yang berputar gemetaran. Tentu kita bisa memaknai ini sebagai suatu
kondisi di mana ruang tersebut begitu panas hingga pendingin udara tak mampu
berfungsi dengan baik. Ini adalah simbol personal yang sangat mungkin
ditafsirkan dengan beragam cara.
Ruang
tunggu tersebut juga mengilustrasikan kaum urban yang begitu sibuk setiap saat.
Ini semakin mengukuhkan bagaimana kaum urban menghadapi hidup yang begitu sarat.
Kondisi batin yang gelisah meski sesungguhnya satu sama lain saling bertatapan.
Interaksi kaum urban adalah interaksi sosial yang begitu pasif meski setiap
saat mereka saling berjumpa di ruang tunggu dalam kesibukan mereka. Repetisi
kehidupan yang sungguh begitu monoton dan tentu saja menciptakan kegelisahan.
Selalu seperti itu tanpa ada pelabuhan.
Halusinasi dan Kesadaran Eksistensial
Kompleksitas
hidup masyarakat urban pada titik tertentu mengusik pikiran kita melakukan
halusinasi. Beban batin dan pikiran yang begitu berat memang perlu segera
dilepaskan. Persoalan ekonomi, kesenjangan, kebutuhan hiburan yang mahal,
ketiadaan ruang, raungan mesin yang bising, keterasingan, adalah hal-hal yang
butuh disalurkan agar tak menjadi patologi masyarakat.
Aku selalu merindu kibaran udara
Tanpa polusi. Telah kucatatkan
mimpiku
Yang dihanguskan asap knalpot.
Tetapi
Sebaris senyum dan tawamu menjelma
Bunga-bunga dan pohon rindang
menadahi
Airmataku yang meratapi nasib
hutan-hutan
Yang dibakar. Aku ingin bicara
kepada daun-daun
(penggalan puisi Halusinasi Ruang
Hijau, hal 15)
Sangat tepat jika katakan bahwa bait
di atas adalah halusinasi. Kibaran udara tanpa polusi telah mengilustrasikan
wajah kota yang sebaliknya. Kita melihat ruang terbuka luas, yaitu lingkungan
udara di kota saja telah menjadi suatu persoalan. Ketika banyak ruang telah
tergerus dan beralih fungsi, kita masih mendapat masalah lain, yaitu polusi
pada ruang terbuka. Asap knalpot yang menghanguskan mimpi hanya salah satu
pengaruh dan masalah bagi polusi ruang terbuka. Faktanya kita masih disajikan
dengan begitu banyak asap yang muncul dari mesin-mesin pabrik, asap rokok, dan asap
pembakaran sampah kaum urban yang tak lagi memiliki tempat untuk membuang
sampah. Kurangnya pepohonan dan taman yang mampu membuat sirkulasi udara
berjalan dengan baik menambah masalah bagi kaum urban.
Halusinasi tersebut sungguh hal
wajar, sebagai satu hiburan. Jauh dari masyarakat urban sana, di hutan-hutan
juga telah terjadi masalah besar, pembakaran. Pada akhirnya kita memang hanya
bisa menciptakan halusinasi tentang bunga-bunga dan pohon rindang yang menjelma
dari sebaris senyum dan tawa. Saat ruang-ruang tertutup dan terbuka semakin
menjadi permasalahan yang tak terselesaikan dan halusinasi juga hanya hiburan
semu, maka hal yang paling mungkin adalah kita penciptaan suasana yang penuh
kedamaian, senyum dan tawa. Suasana batin yang penuh keterasingan, kegelisahan,
kebimbangan, harus kita gerus demi menjaga rasa humanisme kita.
Sebuah jam tak bosan bernyanyi
Membangunkan kita setiap pagi
Sebelum cahaya matahari masuk
Ke kamar kita. Kamar yang kecil –
Namun penuh cita-cita, mimpi dan
biografi
(penggalan
puisi Ruang Keluarga, hal 43)
Kesadaran
eksistensial akhirnya perlu kita bangun. Kita tentu saja tak bisa hidup dengan
halusinasi. Pemaknaan terhadap ruang-ruang tersebut akan menjadi lebih penting
daripada kita mengutuknya dan menjadikan itu semua masalah-masalah yang makin
membuat kita hidup dalam suatu keterasingan, kegelisahan, dan kebimbangan. Rasa
kemanusiaan kita sesungguhnya adalah ruang hidup yang berperan besar untuk
menghidupkan kehidupan yang lebih luas.
Ruang
yang paling mungkin berikutnya adalah “Ruang Keluarga”. Keluarga atau rumah
adalah tempat bermula. Kamar yang kecil di dalam rumah kita bisa dimaknai
eksistensial, bahwa dari situ mampu dibangun hal-hal besar. Kamar kecil penuh
cita-cita, mimpi, dan biografi telah mampu memaknai suatu kehidupan yang lebih
berarti. Ya, dari sini setiap kita bisa memulai. Ruang-ruang di luar sana akan
menjadi hidup juga saat ruang batin, kamar, dan ruang keluarga memancarkan aura
optimisme dengan cita-cita dan mimpi.
Di
sebuah jalan lain, pada waktu yang lain
Malam
adalah ingatan-ingatan kusam atas
Gugusan
musim. Aku menatap lampu-lampu
Ketika
bulan, pelan-pelan, menidurkanmu
Malam
telah tua dan musim berganti warna
Aku
menatap guguran-guguran hujan
Di
halaman. Esok pagi, kau hirup segar udara
Dan
hari-harimu kembali berbunga-bunga
(penggalan
puisi Perjalananan Dua Musim, hal 66)
Puncaknya,
setiap kita memang harus memiliki keyakinan, bahwa manusia mampu menjaga dan
membangun eksistensinya. Kesadaran, pikiran, dan rasa kemanusiaan yang hidup
akan memberi jalan manusia untuk mengatasi semua persoalannya. Sesungguhnya
meski memang berat, persoalan kaum urban tak semengerikan yang kita bayangkan.
Kita bisa berdamai dengan segala warna kehidupan tersebut sambil tetap berusaha
dan yakin bahwa esok pagi kita bisa menghirup udara segar dan hari kita kembali
berbunga-bunga. Ini tentu bukan semata suatu halusinasi, namun tak ada
seorangpun yang ingin menghancurkan hidupnya sendiri dalam kebinasaan, keterasingan,
dan kebimbangan. Masih ada ruang yang hidup, ruang bernama nurani juga ruang
pikiran, bahkan ruang itu tak terbatas. Ruang nurani itulah yang akan memaknai
ruang-ruang besar lain yang ada, ruang yang kemudian kita sebut ruang
eksistensial. Berdirilah di ruang mana saja, saat nurani kita masih hidup, kita
akan melihat damai dan kebaikan. Segala yang asing akan menjadi indah dan
begitu bermakna.
0 Komentar