Ketika
kita membaca karya sastra, sesungguhnya banyak kita berharap bahwa kita ingin
mendapat suatu nilai lebih, dalam hal ini adalah konsep, gagasan dan dialektika
yang hidup dan membangkitkan daya nalar kita selain tentu saja mendapat suatu hiburan
dan kesenangan batin karena bagaimanapun membaca karya sastra tentu berbeda
dengan membaca karya non fiksi. Kita tak ingin semata hanya melihat karya
sastra sebagai sebuah teks yang tak ubahnya permainan kata-kata. Inteligensi
seorang sastrawan akan memberi bobot pada karyanya yang tentu saja akan
berpengaruh besar pada kekuatan karya tersebut.
Satu
hal yang bisa diharapkan agar karya sastra memiliki bobot dan nilai lebih adalah
mengemas karya sastra dengan sentuhan pemikiran dan muatan filsafat tanpa
menghilangkan karakteristik sastranya. Tak dapat diingkari jika filsafat
sesungguhnya telah begitu lama mengendap dan menyatu dengan karya sastra, hanya
saja kini perlahan ditinggalkan. Indikator ini terlihat saat kita membaca karya
sastra yang kering dengan gagasan dan perenungan yang dalam dan tak mampu menawarkan
kerangka logika yang rasional. Karya sastra seperti imajinasi liar yang bisa
menabrak apapun tanpa alur yang jelas. Kebebasan dalam menulis karya sastra,
khususnya yang banyak terdapat pada puisi membuat sebuah puisi menjadi hal yang
tak begitu memberi arti dan nilai bagi perkembangan pemikiran dan tampak hanya
sebagai selebrasi.
Hubungan
filsafat dan sastra
Hubungan
filsafat dan sastra tentu saja sangat erat meski dua hal ini terpisah secara
jelas seperti yang kita pahami sekarang ini. Filsafat ditempatkan sebagai suatu
ilmu yang begitu serius dan ilmiah dengan teks-teks berat yang mengandung
pemikiran yang njlimet dan ketat.
Coba baca saja buku filsafat seperti katakanlah karya Bertrand Russel, Edmund
Husserl, Martin Heidegger atau buku pengantar filsafat tentang pemikiran
tokoh-tokoh tersebut karya K. Bertens misalnya. Begitu juga saat membaca buku
karya filsuf yang sebenarnya fokus dengan bahasa seperti J.L Austin, Ludwig
Witgenstein, dan Hans Georg Gadamer. Sementara karya sastra seakan ditempatkan
sebagai hiburan dan imajinasi yang bebas dan suka-suka. Ini hanya ilustrasi
sederhana sebab bisa jadi komparasi di atas tidak sebanding, filsafat
seharusnya disandingkan dengan kritik sastra karya Raymond William, Christhoper
Norris, Gayatri Chakravorty Spivak, dll.
Sesungguhnya
jika kita mau menimbang ulang betapa banyak sastrawan yang juga adalah filsuf,
sebut saja Goethe, Albert Camus, Jean Paul Satre dan masih banyak lagi. Di
Indonesia kita bisa menyebut beberapa sastrawan yang juga filsuf atau
setidaknya kita akui sebagai ahli atau sarjana filsafat semisal Sutan Takdir
Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, Budi Darma, Afrizal Malna, dan Eka
Kurniawan. Kita bisa merasakan bobot filosofis dalam karya-karya sastra mereka
yang memang memiliki konsep pemikiran yang tinggi.
Hubungan
sangat erat antara filsafat dan sastra di masa lalu bahkan sering menempatkan
karya filsafat juga sebagai karya sastra semisal L’ Homme Revolte atau Manusia
Pemberontak karya Albert Camus. Baru belakangan saat wilayah perbedaan
antara filsafat dan sastra makin jelas, kita bisa menempatkan karya-karya
sastra kini murni sebagai karya sastra meski kita akan tetap melihat muatan
filsafat yang kental dalam karya tersebut. Ini bisa kita rasakan ketika kita
membaca karya semisal Dunia Sophie
karya Joastin Gardner atau katakanlah Para
Priyayi Umar Kayyam. Pada beberapa puisi modern pun masih bisa kita
rasakan.
Kita
tentu tak menuntut karya sastra harus dikemas dengan bahasa yang rumit seperti
saat membaca karya filsafat dan sastrawan juga tak dituntut harus seorang
sarjana filsafat. Hal yang sederhana adalah sebuah karya sastra akan lebih
bermakna jika memiliki nilai filsafat yang mampu merangsang ruang logika
bekerja dengan alur cerita yang sistematis atau setidaknya sebuah karya mampu menawarkan
konsep dan gagasan bukan sekadar permainan kata-kata yang lebih banyak
bermuatan dekoratif dan deskriptif sementara minus dengan makna.
Benar
bahwa karya sastra adalah milik publik dan setiap orang bisa saja menulis karya
sastra sementara untuk menulis karya filsafat seorang harus memiliki perangkat
yang sistematis dan ilmiah. Karya sastra juga lebih memiliki kebebasan yang
luas, tapi tentu saja itu tak berarti bahwa karya sastra bisa ditulis begitu
saja dengan mengabaikan logika. Jika itu terjadi, tentu saja kita telah
menempatkan karya sastra sebagai suatu hal yang remeh temeh dan keisengan
semata. Bagaimanapun sebuah prosa memiliki plot, dan plot yang baik tak bisa
mengabaikan rangkaian logis yang memiliki ikatan begitu kuat seperti yang
ditulis E.M. Forster dalam Aspects of the
Novel. Di sinilah logika memainkan peran penting. Begitu juga pada puisi
yang penuh dengan simbol. Tentulah penciptaan simbol ditulis bukan semata
sebuah permainan yang kosong.
Meneguhkan
kembali filsafat
Bagi
seorang sastrawan adalah hal biasa bahkan suatu keharusan untuk membaca karya
sastra, tetapi tentu akan lebih bermakna jika pembacaan tersebut diimbangi
dengan sejarah, teori dan kritik sastra sebagai landasan kuat dalam berproses
kreatif. Sejarah sastra begitu kuat dengan akar filsafat. Teori-teori dan
kritik sastra juga banyak lahir dengan filsafat yang matang. Jacques Derrida,
Michel Foucault, Louis Althusser, Subagyo Sastrowardoyo, Abdul Hadi WM, Maman S
Mahayana setidaknya telah memberi landasan dan kerangka yang kuat dalam
meneguhkan pemikiran dan konsep dalam sastra, meski sesungguhnya ini juga belum
cukup untuk menjadikan seseorang mahir dalam menulis puisi. Bagaimanapun puisi
tercipta dengan spesifikasi yang ketat di mana semua elemennya sesungguhnya
memiliki makna dan filosofis tersendiri, bukan dicipta tanpa aturan.
Sastrawan
yang muncul belakangan sesungguhnya memiliki kesempatan dan potensi untuk bisa
lebih maju dan berinovasi. Terlihat sebagian karya sastra tampil dengan tehnik
dan inovasi yang kekinian hanya saja kebanyakan tampil indah dengan struktur
luarnya sementara meaning tampak
superfisial. Penggalian masih sangat dibutuhkan bahkan untuk sekadar mengenal bagaimana
peran sebuah kata dalam puisi. Kita setidaknya melihat angin segar dan harapan
besar saat membaca karya Eka Kurniawan, Sunlie Thomas Alexander, Dedi Tri
Riyadi, Pilo Poly, dan beberapa yang lebih muda lagi.
Kebanyakan
karya sastra yang muncul sesungguhnya kental dengan pola-pola sebelumnya bahkan
mengalami kemerosotan filosofis. Ini bisa dilihat dan dicermati walau tentu
saja masih cukup banyak karya sastra yang berkualitas. Puisi dan prosa dalam
sub genre atau aliran apapun seakan tak mengusung pesan yang jelas. Tak banyak
yang bisa menyajikan perenungan atau dialektika yang mampu ditawarkan pada
khalayak. Tentu bisa dimengerti kalau karya tersebut adalah karya para pemula,
tapi akan aneh jika karya-karya tersebut ditulis oleh mereka yang menyandang
predikat sastrawan senior yang telah banyak menulis karya. Terasa tak ada
perkembangan dalam pengetahuan dan pemikiran di sana.
Pendalaman
akan sebuah proses kreatif yang mampu melahirkan karya sastra bernilai tinggi
tentu menjadi perlu. Setelah memiliki landasan yang kuat dengan membaca ilmu
sastra yang bersifat teoretik dan akademis, seorang sastrawan sepertinya perlu
kembali menggali nilai-nilai filosofis untuk mempertajam karyanya. Membaca
filsafat yang bertumpu pada logika akan menjadi sangat berguna agar karya sastra
makin berbobot secara isi dan menjadi sebuah sumber pengetahuan bagi para
pembaca.
Saya
teringat kata-kata Chavchay Syaifullah suatu ketika, bagi sastrawan membaca
karya sastra dan ilmu sastra seperti teori dan kritik adalah seperti memakan
nasi, dan kualitas nasi juga berbeda. Filsafat ibarat sayur mayur, dan lauk
pauknya adalah psikologi, sosiologi, antropologi, cultural studies, dan
sebagainya. Apakah seorang sastrawan cukup makan nasi semata tanpa sayur dan
lauk pauk. Memang tak mudah sesungguhnya menjadi sastrawan, tapi begitu banyak
mereka yang berlabel sastrawan justru meremehkan.
Esai ini pernah dimuat
di Haluan Padang dengan judul “Sastra dan Filsafat yang Buram.” Esai ini edisi
revisi.
0 Komentar