Suasana
di kota santri
Asyik
senangkan hati
Tiap
pagi dan sore hari
Muda-mudi
berbusana rapi
Menyandang
kitab suci
Hilir-mudik
silih berganti
Pulang
pergi mengaji
Lagu
“Kota Santri” di atas yang dipopulerkan oleh Nasidaria mungkin adalah salah
satu yang tak pernah bisa kita lupakan terlebih saat masa-masa menjelang
ramadan atau pada acara-acara keagamaan. Bahkan lagu yang kemudian dipopulerkan
kembali oleh beberapa penyanyi tanah air tersebut makin menjadi akrab di
seluruh lapisan masyarakat.
Saat
kita mendengar lagu tersebut mungkin gambaran umum yang terbersit adalah
sekelompok orang berbusana rapi dengan mukenah atau jilbab bagi kaum perempuan,
sementara bagi kaum pria adalah sarung dan peci, kopiah, atau songkok dengan
busana koko.
Membaca
santri dan pesantren barang kali kita tak akan bisa melupakan buku terkenal
yang mengalami cetak ulang beberapa kali dan sering menjadi rujukan tentang
kehidupan pesantren berjudul Tradisi
Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia
(Zamakhsyari Dhofier, cet 9, 2011).
Dhofier
pada bab empat buku tersebut menjelaskan elemen-elemen pesantren yang
menurutnya ada lima yaitu pondok, masjid, pengajaran kitab Islam klasik,
santri, dan kyai. Meski pesantren di nusantara telah berdiri sejak ratusan
tahun lalu, tapi pesantren seolah tak berubah banyak dalam menjaga dan
mempertahankan tradisi kehidupan dan keagamaan di dalamnya. Kini saat zaman
begitu mengalami modernisasi pesat tapi jika kita masuk pesantren, kita masih
melihat suasana yang cenderung tradisionalis seperti masyarakat yang jauh dari
gegap gempita arus perkembangan.
Pesantren
seperti memiliki wilayah dan kehidupan sendiri yang tetap seragam secara ritme
kehidupan keberagamaannya. Kehidupan pesantren seperti sebuah kampung dalam
kampung atau dalam sebuah kota. Mereka memiliki pusat pendidikan, keagamaan,
bahkan kehidupan yang berdiri oleh aturan-aturan tersendiri dengan kyai sebagai
pusat segalanya. Ada lurah pondok, ada kepala kamar, ada toko dan koperasi, dan
macam sebagainya.
Pesantren
memang seakan telah menjelma dan menciptakan masyarakatnya sendiri meski
sentuhan-sentuhan dan hubungan terhadap masyarakat di luar pesantren cukup
terjalin dengan baik, bahkan pesantren tetap memiliki peran bagi masyarakat
sekitarnya dalam hal pendidikan, keagamaan atau interaksi sosial yang memiliki
pengaruh ekonomi, sosiologis dan politis.
Melihat
besarnya peranan pesantren yang mewarnai perkembangan bangsa khususnya masa
awal kemerdekaan saat resolusi jihad dikeluarkan pada 22 Oktober 1945, tak
heran jika presiden akhirnya menetapkan tanggal tersebut menjadi Hari Santri Nasional
pada tahun 2015 lalu, dan telah memperingatinya di masjid Istiqlal pada Oktober
tahun tersebut.
Kehidupan pesantren dan tradisi
sastra
Kehidupan
pesantren memang memiliki karakteristik sendiri terlebih jika dikaitkan dengan
tradisi sastra yang begitu kuat dipertahankan. Pengajian kitab klasik atau
kitab kuning merupakan salah satu pilar utama bagi pendidikan pesantren. Kitab
yang ditulis dalam bahasa Arab gundul karena tanpa disertai harakat atau tanda
baca oleh para ulama klasik telah mengharuskan para santri untuk bisa menguasai
literatur-literatur yang memiliki nilai sastra dan filosofis tinggi. Membaca
karya-karya tersebut membutuhkan keahlian bahasa tersendiri karena ketiadaan
tanda baca. Santri pemula mungkin akan mengalami kesulitan tinggi, setidaknya
butuh waktu yang cukup lama untuk bisa memahaminya, dan ini adalah proses
panjang yang membuat seorang santri akhirnya akrab dengan aspek dan kajian
kebahasaan dan kesastraan. Tassawuf, sejarah atau tarikh, biografi atau manaqib
secara tekstual sesungguhnya banyak tertulis dalam bentuk syair yang penuh
simbol dan metafor, bahkan cara penulisan kitab tersebut sering kali serupa
dengan penulisan karya sastra puisi jika ditilik dari bentuk dan aspek-aspek
kebahasaan.
Saat
kita membaca kitab tasawwuf yang akrab di kalangan pesantren misalnya, banyak
nilai filosofis dan sastra yang termuat di kitab-kitab tersebut. Tamsil tentang
kehidupan para sufi bahkan karya para sufi yang akrab di kehidupan pesantren, sebagian
besar mereka adalah pujangga-pujangga besar masa lalu yang banyak menulis
syair, diwan, ghazal atau puisi. Sekadar menyebut dua tokoh sufi yaitu Syaikh
Abdul Qadir Jailani dan Abi Hasan Ali as Sazili, kitab mereka begitu penuh
pendalaman, tamsil atau perumpamaan dan aforisme yang bernilai puitik. Meski
syaikh as-Sazili tidak pernah menulis kitab tapi ajaran-ajarannya begitu kuat
dan kemudian ditulis oleh Abu Athoilah Assakandari, penerus dan mursid ketiga
tarekat as-Saziliah.
Hal
berikutnya yang populer di kalangan pesantren adalah pembacaan manaqib atau
biografi khususnya biografi Rasululullah yang ditulis oleh para ulama, sufi
atau pujangga terdahulu. Teks dalam manaqib sesungguhnya adalah karya sastra
tinggi dalam khazanah sastra Islam yang sebagian besar bahkan ditulis dengan
menggunakan rima yang ketat dan kita kenal seperti dalam puisi-puisi lama. Hal
ini memungkinkan siapa yang membaca bisa akrab dengan teks tersebut meski
ditulis dalam bahasa arab. Syair Burdah
karya Imam Al Bushiri (1213-1296 M), Kitab
Diba’ atau Maulid Addiba’i karya
syaikh Abdurrahman Addiba’i (1461-1537 M), dan Kitab Barjanzi karya Sayyid Ja’far Al Barjanzi (1711-1766 M) adalah karya
sastra yang masih sering dibaca dan menjadi tradisi kuat hingga kini di
pesantren. Setidaknya hampir setiap minggu – biasanya pada malam Jumat – para
santri membaca karya-karya tersebut hingga hampir-hampir tak ada santri di
pesantren yang tak mengenal mereka. Bahkan sebagian santri bisa menghapalnya di
luar kepala.
Begitu
juga pembelajaran dalam bahasa Arab yang dilakukan dengan pola menghapal teori
Nahwu dan Shorof dengan cara menghapal bait-bait atau yang disebut nadhom.
Nadhom sendiri berarti pantun atau syair yang terdiri dari sampiran dan isi.
Matan jurumiyah karya Ibnu Ajjurum as-Shonhaji
(1273-1332 M) misalnya, adalah kitab dasar atau pemula para santri yang ingin
belajar nahwu atau tata bahasa arab. Setelah menyelesaikan Jurumiyah santri berlanjut pada kitab Imrithie karya Syekh Yahya Al Imrithie yang berisi sekitar 200
nadhom, kitab ini sekaligus syarah atau penjelasan atas kitab Jurumiyah. Lalu nadhom yang berisi lebih
banyak adalah kitab Alfiyah karya
Ibnu Malik (1204-1274) yang berisi 1002 nadhom. Para santri akan menghapal
nadhom tersebut sekaligus belajar bahasa arab seolah sedang membaca syair.
Kentalnya
tradisi sastra di kalangan santri dengan literatur-literatur berbahasa Arab
membuat santri akrab dengan pembelajaran sastra secara umum dan berpengaruh
besar pada kemampuan santri dalam membaca teks-teks sastra. Tak heran jika
pesantren telah menghasilkan banyak sastrawan. Sekadar menyebut nama adalah
penyair balsem Gus Mus atau K.H. Mustafa Bisri, penyair clurit emas D. Zawawi
Imron, Acep Zamzam noor, Jamal D. Rahman, dan M Faizi, kita juga bisa menyebut
Abidah El khalieqy, mereka adalah para sastrawan yang kental dengan kehidupan
pesantren. Beberapa novel Abidah bahkan mengisahkan kehidupan pesantren meski
dengan nada penuh kritik terhadap beberapa aspek kehidupan pesantren. Apapun
itu mereka adalah para sastrawan santri yang memiliki tempat sangat terhormat
di dunia sastra tanah air dengan predikat santri yang tetap melekat kuat. Regenerasi
sastra ini berjalan dengan sangat baik hingga memunculkan nama-nama muda yang
sangat potensial baik dalam puisi dan prosa.
Tradisi sastra di pesantren ini makin mendapat perhatian dari pemerintah. Tahun 2016 misalnya, kementerian agama bekerja sama dengan pesantren mengadakan penulisan lomba cerpen untuk santri dan umum dengan tema Dari Pesantren untuk Indonesia. Tentu ini mendapat respon yang begitu positif dari kalangan pesantren dan masyarakat luas. Karya-karya para pemenang baik dari yang santri atau kalangan kemudian dibukukan dan diluncurkan dalam peringatan hari santri 2016, ini tentu makin memperkaya khazanah sastra nusantara. Buku cerpen tersebut lalu didistribusikan di pesantren-pesantren yang tentu saja bisa menjadi literatur modern bagi perpustakaan-perpustakaan pesantren. Para santri juga akan makin bersemangat dalam bersastra. Perhatian pemerintah ini juga bisa menjadi pemicu akan lahirnnya sastrawan santri generasi baru yang akan melanjutkan estafet kesusasteraan berikutnya, walau sebenarnya tradisi tersebut memang sudah berjalan.
Esei ini pernah disiarkan litera
0 Komentar